Dalam Pertamina Energy Outlook (PEO) 2022, PEI melakukan beberapa perubahan terkait metodologi pengembangan energy outlook. Perubahan terbesar yang dilakukan pada PEO 2022 adalah perubahan penggunaan software/tool yang sebelumnya menggunakan low emission analysis platform (LEAP) menjadi penggunaan software/tool berbasis Fusion by McKinsey.
Outlook energi kali ini masih menggunakan 3 skenario dengan nama yang sama yaitu Low Transition, Market Driven, dan Green Transition. Namun, ketiga skenario tersebut dalam PEO 2022 diturunkan dari GEP 2022 dengan rata-rata peningkatan temperatur dunia pada 2100 yang mencapai sekitar 3°C (Low Transition), 2.4°C (Market Driven), dan 1.7°C (Green Transition). Pada dasarnya perbedaan pencapaian temperatur dunia akan menimbulkan risiko-risiko fisik iklim dengan temperatur tertinggi menghasilkan risiko fisik iklim yang lebih tinggi dibandingkan skenario lainnya.
Penyebab dari perbedaan peningkatan temperatur dunia secara umum dikarenakan pencapaian target NZE global. Pencapaian target NZE secara global dapat menahan laju peningkatan temperatur terendah dari setiap skenario, sementara itu tidak tercapainya target NZE dan yang terberat adalah fokus global dalam pemanfaatan energi fosil untuk menopang pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan peningkatan temperatur global yang lebih tinggi. Dalam PEO 2022, pencapaian temperatur terendah adalah 1.7°C dalam skenario transisi energi tertinggi (Green Transition) dikarenakan tren global belum menunjukkan penguatan implementasi kebijakan transisi energi. Selain itu, krisis energi pasca konflik Rusia-Ukraina menunjukkan bahwa pemanfaatan energi fosil masih kuat dan kerjasama global terganggu.
Dengan tidak tercapainya target pembatasan peningkatan temperatur global, maka risiko iklim akan meningkat dan akan timbul dampak sistemik ke sistem keuangan melalui makroekonomi dan mikroekonomi. Oleh karena itu, dunia tidak hanya perlu untuk menyeimbangkan isu keberlanjutan dan pengembangan ekonomi saja dalam menahan laju peningkatan temperatur rata-rata global, namun juga perlu untuk memprioritaskan iklim (climate first).
Selain asumsi global yang menjadi lanskap skenario nasional seperti yang disebutkan di atas, Pertamina Energy Outlook juga disusun berdasarkan asumsi makro nasional yaitu pertumbuhan PDB dan jumlah populasi. Meskipun terjadi volatilitas dalam jangka pendek, secara jangka panjang masih tidak terdapat perbedaan asumsi pertumbuhan PDB Nasional maupun jumlah populasi pada PEO 2022 dibandingkan PEO 2021 seperti yang terlihat dalam tabel berikut:
Dalam PEO 2022, dipetakan key drivers dari lanskap energy nasional dan asumsi dari setiap key drivers untuk setiap skenario (tabel 4.2). Key drivers adalah faktor-faktor utama yang mempengaruhi outlook energi di setiap skenario. Secara umum, beberapa key drivers di sektor energi adalah peningkatan efisiensi energi, pemanfaatan bahan bakar dan sumber energi rendah karbon, penjualan kendaraan listrik, penghentian penjualan kendaraan berbasis fossil, serta tingkat daur ulang plastik (khusus untuk non-energy use minyak mentah). Selain itu, setiap skenario juga mengasumsikan penggunaan penangkapan karbon untuk penurunan emisi. Setiap key drivers diasumsikan secara berbeda-beda di setiap skenario dengan skenario low transition merupakan skenario transisi energi yang lebih lambat dibandingkan market driven, dan skenario green transition merupakan skenario transisi energi paling cepat di antara ketiga skenario. Berikut adalah asumsi dari setiap key drivers dan skenario:
Setelah mengalami penurunan pada pandemi, permintaan energi primer nasional kembali mengalami peningkatan pada tahun 2021 sebesar 2.9% dikarenakan keberhasilan program vaksinasi pemerintah yang mendorong pemulihan perekonomian. Permintaan energi primer kembali diperkirakan akan meningkat pada tahun 2022 hingga tahun 2060 dalam setiap skenario, dengan laju pertumbuhan kebutuhan energi primer di masing-masing skenario sebesar rata-rata 2.3% (LT), 2.3% (MD), 2.6% (GT) per tahun dari basis tahun 2019 hingga akhir masa proyeksi yaitu tahun 2060. Skenario Green Transition mengalami pertumbuhan kebutuhan energi primer tertinggi dikarenakan ketika penetrasi EBT mengalami peningkatan yang disebabkan oleh efisiensi pembangkit listrik EBT yang rendah, maka diperlukan suplai energi yang besar dalam memproduksi listrik untuk memenuhi kebutuhan.
Jenis energi primer yang paling terdampak transisi energi adalah batubara dan minyak mentah. Hal ini terlihat dari perbedaan skenario sebagai berikut:
Pada skenario LT, energi fosil diperkirakan masih mendominasi penyediaan energi primer Indonesia hingga tahun 2060 dengan total porsi 80.8% atau sebesar 20.9 juta TJ. Dari jumlah tersebut, batubara masih mendominasi dengan porsi mencapai 47.7%, disusul oleh sumber energi migas. Dominasi batubara disebabkan oleh masih tingginya pemakaian energi tersebut di sektor industri dan pembangkit listrik. Lambatnya pertumbuhan sumber energi terbarukan disebabkan oleh penurunan biaya yang lebih lambat dan kurangnya dukungan kebijakan. Pangsa energi fosil mengalami penurunan pada skenario MD dan GT seiring dengan peningkatan penetrasi elektrifikasi dan diversifikasi energi lainnya menjadi 13.8 juta TJ (porsi bauran 52.1%) dan 12.7 juta TJ (porsi bauran 42.8%) pada tahun akhir proyeksi. Dalam skenario MD, di Indonesia puncak permintaan minyak diperkirakan akan terjadi pada sekitar tahun 2031 sementara puncak permintaan batubara diperkirakan akan terjadi pada sekitar tahun 2038. Puncak permintaan minyak terjadi lebih cepat pada skenario GT yaitu pada sekitar tahun 2025 disebabkan oleh percepatan elektrifikasi kendaraan dan dorongan kebijakan biodiesel/ethanol. Sementara itu, batubara akan mulai menurun pada kisaran tahun 2040 namun kembali meningkat setelah 2050 karena perkembangan teknologi CCS/CCUS.
Jika dilihat dari sisi sektornya, peningkatan permintaan energi primer didorong oleh pertumbuhan elektrifikasi di setiap pengguna energi dalam rangka dekarbonisasi, dengan jumlah permintaan energi terbesar adalah sektor kelistrikan. Pada skenario LT, jumlah energi secara nasional yang dikonversi menjadi listrik adalah sebesar 16 juta TJ pada 2060, sementara pada skenario MD adalah sebesar 20 juta TJ, dan GT sebesar 26 juta TJ. Setelah sektor kelistrikan, penggunaan energi terbesar kedua di setiap skenario adalah sektor industri. Penggunaan energi primer di sektor industri nasional untuk skenario LT mencapai 5.4 juta TJ pada 2060, sementara skenario MD yang transisi energinya lebih tinggi dari skenario TJ mencapai permintaan energi yang lebih rendah dari skenario LT untuk sektor industri yaitu 4.5 juta TJ pada 2060, sementara skenario transisi energi tertinggi yaitu GT merupakan skenario dengan penggunaan energi primer terendah dari semua skenario untuk sektor industri yaitu sebesar 2.7 TJ pada 2060. Permintaan energi terbesar ketiga secara nasional di setiap skenario adalah permintaan energi untuk sektor transportasi. Sejalan dengan skenario peningkatan elektrifikasi di semua sektor, permintaan energi untuk skenario LT di sektor transportasi mencapai puncak pada tahun 2042 yaitu sebesar 3.5 juta TJ dan turun ke 3.1 TJ pada tahun 2060, sementara untuk skenario MD puncak permintaan energi sektor transportasi terjadi pada tahun 2035 sebesar 3.1 juta TJ dan turun ke 1.6 juta TJ pada tahun 2060, serta untuk skenario GT puncak permintaan energi sektor transportasi terjadi pada tahun 2031 sebesar 2.9 juta TJ dan turun ke 0.4 juta TJ pada tahun 2060.
Dalam jangka panjang, kebutuhan minyak nasional diproyeksikan akan mencapai puncak dan mengalami perlambatan/penurunan hingga akhir tahun proyeksi. Pada skenario LT, kebutuhan minyak mengalami peningkatan hingga mencapai 773 juta BOE pada 2048 dan turun ke 760 juta BOE pada 2060 atau sekitar 2,1 juta BOEPD. Pada skenario MD, kebutuhan minyak nasional mencapai puncak pada tahun 2038, yakni 605 juta BOE atau 1,6 juta BOEPD, kemudian turun ke 425 juta BOE atau 1,2 juta BOEPD pada tahun 2060. Kebutuhan minyak nasional pada skenario GT mencapai puncak pada 2025 sebesar 533 juta BOE atau 1.5 juta BOEPD dan mengalami penurunan signifikan hingga menjadi 204 juta BOE atau 0,6 juta BOEPD pada 2060. Penurunan pemanfaatan minyak dalam jangka panjang terutama disebabkan oleh elektrifikasi kendaraan.
Di setiap skenario, permintaan gas secara nasional diproyeksikan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2060 dengan porsi terbesar di skenario GT. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan terbesar permintaan gas di dua sektor utama yaitu pembangkit dan industri. Dalam skenario LT, kebutuhan gas meningkat sebesar rata-rata 2% per tahun, yaitu menjadi sebesar 171,4 bcm pada tahun 2060 dengan permintaan di sektor pembangkit dan industri terus meningkat sebelum 2030, namun untuk sektor industri kemudian mendatar hingga akhir tahun proyeksi. Sementara itu untuk skenario MD, pertumbuhan permintaan gas nasional lebih tinggi yaitu sebesar rata-rata 3.5% per tahun, yaitu menjadi sebesar 177,6 bcm pada tahun 2060. Permintaan gas di sektor pembangkit tumbuh secara signifikan setelah 2030 karena pembatasan pembangkit batubara dan peningkatan pembangkit energi terbarukan yang bersifat intermiten. Sementara kebutuhan gas untuk sektor industri akan mendatar setelah 2030 karena pertumbuhan ekonomi dapat diseimbangkan dengan peningkatan efisiensi dan elektrifikasi di sektor industri. Pertumbuhan permintaan gas di skenario GT tidak jauh berbeda dengan skenario MD, yaitu sekitar 3.5%. Namun, dalam skenario ini pertumbuhan permintaan di sektor pembangkit secara nasional jauh lebih tinggi dari skenario MD setelah tahun 2030, terutama untuk setelah tahun 2050 terdapat tambahan pembangkit gas menggunakan CCS untuk mencapai Net Zero. Sementara itu di sektor industri terjadi penurunan permintaan setelah 2030 karena elektrifikasi dan peralihan ke hidrogen.
Batubara hingga saat ini masih berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan energi tidak hanya di Indonesia namun juga di negara lain seperti India dan Cina. Bahkan ketika terjadi krisis energi di Eropa karena konflik Rusia-Ukraina, terjadi peningkatan ekspor batubara dari Indonesia ke negara-negara di Eropa. Namun, dengan peningkatan komitmen transisi energi dan Net Zero Emission, ke depan batubara akan mulai digantikan dengan energi yang lebih hijau. Hal ini terutama dikarenakan pembangkit batubara menghasilkan unsur-unsur pencemar udara seperti partikulat, nitrogen oksida, karbon dioksida, merkuri, dan emisi lainnya. Di Indonesia sendiri pemerintah memperkuat komitmen untuk mempensiunkan dini pembangkit batubara, salah satunya dengan menggunakan skema ETM (Energy Transition Mechanism) yang mendapat dukungan dari ADB (Asian Development Bank). Namun, meskipun terdapat rencana untuk mengurangi batubara, diperkirakan permintaan batubara ke depan masih akan bertumbuh meskipun dalam tingkat pertumbuhan yang relatif kecil. Untuk skenario MD dan GT, permintaan batubara secara nasional hanya akan bertumbuh sekitar 1% per tahun. Hal ini dikarenakan kebijakan dan komitmen transisi energi yang lebih kuat dalam kedua skenario tersebut. Perbedaannya, dalam skenario MD batubara akan mengalami puncak permintaan pada tahun 2031 yaitu sebesar 243 juta ton, kemudian permintaan akan relatif mendatar hingga 2060 yaitu sebesar 220 juta ton. Sementara itu dalam skenario GT, puncak permintaan batubara secara nasional akan terjadi pada tahun 2029 yaitu sebesar 193 juta ton, dan menurun hingga 2045 yaitu sebesar 90 juta ton. Namun, setelah itu batubara akan kembali meningkat karena peningkatan teknologi CCS yang memungkinkan pemanfaatan kembali pembangkit batubara, meskipun peningkatan permintaan batubara pada tahun 2060 hanya terbatas sebesar 221 juta ton. Pemanfaatan batubara terbesar ada dalam skenario LT, dengan asumsi bahwa batubara masih akan menjadi sumber energi termurah untuk menopang pertumbuhan kebutuhan energi karena lambatnya penurunan biaya dari sumber energi terbarukan dan kurangnya kebijakan disinsentif untuk sumber energi kotor. Dalam skenario ini, permintaan batubara akan terus bertumbuh sebesar 3,7% per tahun atau menjadi sebesar 642 juta ton pada tahun 2060.
Pemanfaatan EBT dan Bioenergi secara nasional dalam setiap skenario diproyeksikan terus mengalami peningkatan namun dalam tingkat pertumbuhan yang berbeda. Dalam skenario LT, porsi EBT dalam bauran energi adalah sebesar 12% pada 2040 atau sebesar 2.1 juta TJ dan meningkat menjadi 14% atau sebesar 3.7 juta TJ pada 2060, sementara bioenergi adalah sebesar 8% atau sebesar 1.4 juta TJ dan turun menjadi 5% atau sebesar 1.3 juta TJ. Secara bauran, bioenergi diproyeksikan akan mengalami penurunan karena terus digunakannya batubara dalam bauran energi primer. Sementara dari segi jumlah energi, bioenergi tidak terlalu berubah signifikan terutama karena terbatasnya pemanfaatan biodiesel yaitu B30. Sementara itu pada skenario MD, porsi EBT dalam bauran energi adalah sebesar 23% pada 2040 atau sebesar 4.1 juta TJ dan meningkat menjadi 40% atau sebesar 10.7 juta TJ pada 2060, sementara bioenergi adalah sebesar 8% atau sebesar 1.5 juta TJ dan turun menjadi 7% atau sebesar 2 juta TJ. Dalam skenario ini, EBT dan Gas terus bertumbuh dan mendominasi bauran energi primer nasional, sehingga prosi bauran bioenergi terlihat menurun padahal dari sisi pemanfaatan energi mengalami peningkatan. Peningkatan bioenergi salah satunya disebabkan oleh peningkatan pemanfaatan biodiesel menjadi B40. Sementara itu dalam skenario GT, porsi EBT dalam bauran energi adalah sebesar 44% pada 2040 atau sebesar 8.7 juta TJ dan meningkat menjadi 42% atau sebesar 12.5 juta TJ pada 2060, sementara bioenergi adalah sebesar 8% atau sebesar 1.7 juta TJ dan turun menjadi 15% atau sebesar 4.5 juta TJ. Dalam skenario ini, pemanfaatan EBT jauh lebih tinggi dibandingkan 2 skenario lainnya dikarenakan keekonomian EBT yang lebih baik dan dukungan kebijakan pemerintah yang kuat. Bioenergi mengalami peningkatan karena salah satunya disebabkan oleh pemanfaatan biodiesel menjadi B50 pada tahun 2035 ke depan.
Outlook energi final dalam PEO 2022 dikategorisasikan berdasarkan sektor dan jenis bahan bakarnya. Kelompok sektor utama yang digunakan adalah komersial dan rumah tangga, industri, dan transportasi. Berdasarkan skenario yang dikembangkan dalam pemodelan outlook energi, konsumsi energi final secara nasional untuk skenario LT akan tumbuh rata-rata sebesar 1.9% per tahun hingga tahun 2060 sementara MD sebesar 1.7% hingga 2060 dan GT sebesar 1.4%. Skenario LT memiliki pertumbuhan konsumsi energi final tertinggi dikarenakan asumsi transisi energi dan elektrifikasi yang paling rendah di antara seluruh skenario, sementara skenario GT memiliki pertumbuhan konsumsi energi final terendah didorong oleh elektrifikasi dan peningkatan efisiensi energi dalam teknologi yang digunakan di berbagai sektor. Di setiap skenario terdapat penetrasi EBT yang digunakan dalam konsumsi energi final, namun penetrasi tertinggi terdapat pada skenario GT.
Bauran energi final di setiap skenario terdiri dari batubara, bioenergi, minyak, listrik, hidrogen, gas. Khusus untuk skenario GT, bahan bakar sintetis akan masuk pada tahun 2036 di sektor aviasi sementara EBT lainnya dalam bentuk ammonia akan masuk pada tahun 2035 di sektor maritim. Porsi dari kedua bahan bakar tersebut masih sangat kecil atau sekitar 0.6% dari total energi final pada tahun 2060. Saat ini hidrogen secara nasional sudah digunakan di dalam konsumsi sektor industri, terutama di industri kimia yang pada tahun 2019 pemanfaatan energinya mencapai sekitar 150 ribu TJ. Ke depan, hidrogen akan digunakan lebih luas lagi di sektor lainnya.
Selain pemanfaatan hidrogen, transisi energi dalam konsumsi energi final terlihat juga dari pemanfaatan listrik. Energi listrik dalam bauran konsumsi energi final secara nasional pada tahun 2019 adalah sekitar 14%. Sementara itu dalam skenario transisi terendah yaitu LT, bauran listrik meningkat menjadi 34% pada 2060. Selanjutnya, bauran listrik jauh lebih tinggi untuk tahun 2060 pada skenario MD yaitu sebesar 45% dan skenario Gt yaitu sebesar 56%. Peningkatan bauran ini disebabkan oleh elektrifikasi di berbagai sektor, terutama yang terbesar perbedaan pertumbuhan antar skenarionya terdapat pada sektor transportasi dan industri.
Transportasi darat merupakan sektor transportasi dengan konsumsi energi terbesar di antara transportasi lainnya (udara & laut) meskipun tingkat rata-rata pertumbuhan tahunannya paling kecil di antara transportasi lainnya dan mengalami puncak konsumsi. Untuk skenario LT, puncak konsumsi sektor transportasi darat terjadi pada tahun 2041 dan kemudian relatif landai. Sementara skenario MD, puncak konsumsi sektor transportasi darat terjadi pada 2037 kemudian menurun, dan skenario GT puncak konsumsi sektor transportasi darat terjadi pada 2033. Konsumsi energi sektor transportasi darat untuk skenario LT tumbuh rata-rata per tahun sebesar 0.79% hingga 2060 dengan konsumsi energi pada tahun 2060 sebesar 2.8 juta TJ. Dalam skenario LT, konsumsi energi final sektor transportasi darat secara nasional masih didominasi oleh minyak dengan bauran sebesar 74% pada tahun 2060. Sementara itu kendaraan listrik menempati bauran kedua pada tahun 2060 yaitu sebesar 15%, dengan tingkat pertumbuhan konsumsi energi sebesar rata-rata 29% per tahun hingga 2060. Dalam skenario ini, tidak terdapat dorongan kebijakan kendaraan listrik yang cukup berarti. Sementara dari sisi teknologi, baterai baru mencapai TCO parity di negara maju pada tahun 2030 dan negara berkembang setelah 2035. Pada tahun 2030, harga baterai di Asia Tenggara masih sekitar 100 USD/kWh. Infrastruktur charging umum masih terbatas karena kebanyakan charging dilakukan di rumah. Serta kendaraan barang jarak jauh tidak beralih ke kendaraan listrik. Selanjutnya, selain listrik, energi lainnya di sektor transportasi darat adalah bahan bakar nabati dengan bauran sebesar 11% pada 2060. Dalam skenario ini, diasumsikan bahwa kebijakan nasional blending bahan bakar nabati adalah 30% atau B30 hingga 2060, dengan ketersediaan feedstock terbatas pada bahan bakar nabati generasi ke-1 dan ke-2.
Pada skenario MD, konsumsi energi final sektor transportasi darat secara nasional tumbuh rata-rata per tahun sebesar 0.03% hingga 2060, dengan konsumsi energi pada tahun 2060 sebesar 2.06 juta TJ. Dalam skenario MD, kendaraan listrik secara nasional diproyeksikan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu sebesar rata-rata 32% per tahun dengan porsi bauran sebesar 50% pada tahun 2060. Hal ini didorong oleh kebijakan seperti pelarangan penjualan kendaraan konvensional di beberapa negara seperti Uni Eropa, Cina, dan AS pada tahun 2035, serta di negara berkembang dan Asia Tenggara setelah 2040. Dorongan lainnya yaitu dari sisi teknologi dengan tercapainya parity TCO sebelum 2025 di Uni Eropa, AS, dan Cina, serta sekitar 2030 di Asia Tenggara. Hal ini terutama didorong oleh penurunan harga baterai di bawah 90 USD/kWh pada 2030. Dalam skenario ini, sebagian besar charging kendaraan listrik dilakukan di rumah. Namun, dengan meluasnya penggunaan kendaraan listrik, profitabilitas infrastruktur charging untuk perusahaan swasta menjadi semakin menarik. Selanjutnya, bahan bakar nabati mengalami pertumbuhan sekitar 0.9% per tahun hingga 2060. Namun bahan bakar nabati mengalami puncak pada tahun 2035 dikarenakan peningkatan pemanfaatan kendaraan listrik termasuk di kendaraan berat. Dalam skenario ini, blending bahan bakar nabati meningkat menjadi 35% (B35) pada tahun 2023, kemudian pada tahun 2025 meningkat menjadi 40% (B40) hingga tahun 2060. Dalam skenario ini, ketersediaan feedstock terbatas pada generasi ke-2, terutama di wilayah seperti Asia Tenggara yang memiliki pangsa pasar untuk generasi ke-1.
Selanjutnya, pada skenario GT, konsumsi energi sektor transportasi darat tumbuh rata-rata per tahun sebesar 0.26% hingga 2060, dengan konsumsi energi pada tahun 2060 sebesar 2.26 juta TJ. Dalam skenario ini, pada tahun 2060 bauran konsumsi energi final didominasi oleh energi listrik sebesar 62% kemudian diikuti hidrogen sebesar 34%, bahan bakar minyak hanya sebesar 3% dan sisanya bahan bakar nabati. Dalam skenario ini, bahan bakar nabati mencapai blending sebesar 35% pada 2023, kemudian 40% pada 2025, dan 50% pada 2035 hingga 2060. Namun, kebijakan elektrifikasi kendaraan meningkatkan konsumsi energi listrik dalam bauran energi final. Penjualan kendaraan berbahan bakar minyak dilarang di berbagai negara termasuk Asia Tenggara. TCO parity baterai tercapai pada tahun 2025 untuk seluruh segmen, dengan harga baterai berada di bawah 70 USD/kWh pada tahun 2030. Pemerintah mendukung ekosistem kendaraan listrik dengan berinvestasi pada infrastruktur charging untuk menyelesaikan permasalahan ayam atau telur dalam ekosistem kendaraan listrik, sehingga mendukung adopsi kendaraan listrik. Sementara itu, hidrogen mulai menjadi sumber energi untuk kendaraan berat. Sekitar 20% truk dan bis di Cina dan negara-negara OECD pada tahun 2030 berbahan bakar fuel cell, dan sekitar 50% pada tahun 2050. Sementara penjualan kendaraan fuel cell di Asia Tenggara sedikit tertinggal sekitar 10-20%.
Untuk transportasi udara, konsumsi energi final pada skenario LT dan MD mengalami tingkat pertumbuhan yang sama yaitu rata-rata 2.3% per tahun hingga 2060, dengan jumlah konsumsi bahan bakar penerbangan pada tahun 2060 diperkirakan sebesar 13 juta KL. Perbedaanya, konsumsi energi dalam skenario LT untuk aviasi adalah minyak (avtur). Hal ini dikarenakan dalam skenario LT tidak terdapat dorongan kebijakan terkait SAF (Sustainable Aviation Fuel). Sementara itu, dalam skenario MD, bahan bakar nabati dan sintetis masuk ke dalam bauran. Hal ini dikarenakan dalam skenario MD, diproyeksikan terdapat kebijakan SAF terutama di negara maju pada tahun 2035, dan di negara berkembang terutama Asia Tenggara baru dimulai setelah 2045. Bahan bakar nabati diproyeksikan mulai masuk ke dalam konsumsi energi final pada tahun 2040 sebesar 158 ribu KL dengan tingkat pertumbuhan hingga tahun 2060 sebesar rata-rata 16.7% per tahun dan mencapai porsi bauran 26% pada tahun 2060 atau sejumlah 3 juta KL. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh penguatan kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati dan sintetis di sektor Aviasi. Beberapa jenis bahan bakar nabati yang digunakan adalah bioavtur berbasis HVO (Hydrotreated Vegetable Oil) dan HEFA (Hyrdoprocessed Esters and Fatty Acids). Permasalahan dari bahan bakar sintetis dalam skenario MD adalah ketersediaan feedstock untuk jelantah (waste oil). Diperkirakan secara global waste oil akan mencapai puncak pada akhir 2020an sebesar 30 juta ton. Namun, berbeda dengan negara lain seperti Uni Eropa yang meninggalkan feedstock pangan dari bahan bakar nabati, beberapa negara seperti Amerika Utara, Brazil, Cina, dan Indonesia akan mengalami peningkatan permintaan bahan bakar nabati dari sumber pangan dikarenakan tidak ada kebijakan yang membatasi. Selanjutnya, selain bahan bakar nabati, bahan bakar sintetis diproyeksikan akan masuk ke dalam konsumsi energi final pada tahun 2040 sebesar 18.5 ribu KL dengan tingkat pertumbuhan hingga tahun 2060 sebesar rata-rata 18.2% per tahun dan mencapai porsi bauran 4% pada tahun 2060 atau sejumlah 522 ribu KL. Jenis bahan bakar sintetis untuk aviasi yang masuk dalam proyeksi adalah kerosene sintetis. Salah satu sumber produksi bahan bakar sintetis adalah dari hidrogen.
Dalam skenario GT, konsumsi energi final di sektor aviasi akan tumbuh lebih rendah dibandingkan skenario LT & MD, yaitu sebesar rata-rata 1.6% per tahun hingga 2060 atau sebesar 6 juta KL. Hal ini diasumsikan karena peningkatan efisiensi penggunaan bahan bakar penerbangan. Dalam skenario ini, bauran energi sektor aviasi sama dengan skenario MD namun dengan tingkat penetrasi yang lebih tinggi. Dalam skenario GT, bioavtur masuk ke dalam bauran pada tahun 2033 sejumlah 302 ribu KL dan terus tumbuh hingga tahun 2060 sebesar 1.6 juta KL. Sementara itu bahan bakar sintetis masuk pada tahun 2036 sebesar 40 ribu KL dan tumbuh hingga tahun 2060 sebesar 1.3 juta KL. Dalam skenario ini, hidrogen digunakan baik secara langsung maupun untuk menghasilkan bahan bakar sintetis aviasi. Konsumsi hidrogen di sektor aviasi dalam skenario ini yaitu pada tahun 2030 sebesar 149 ton dan meningkat rata-rata 35% per tahun menjadi 1.1 juta ton pada tahun 2060.
Untuk sektor transportasi laut atau maritim nasional, pertumbuhan konsumsi energi di skenario LT dan MD hampir sama pada rata-rata 1,7% per tahun atau sebesar 0.27 juta TJ pada tahun 2060. Perbedaannya, dalam skenario LT diasumsikan tidak ada regulasi efisiensi bahan bakar, efisiensi bahan bakar per tahun pada rata-rata sekitar <1% per tahun disebabkan oleh faktor penurunan biaya. Dalam skenario LT, bauran bahan bakar rendah karbon pada 2060 adalah sebesar 16%. Sementara itu, untuk skenario MD diasumsikan terdapat regulasi efisiensi bahan bakar pada Pelabuhan utama dunia seperti Rotterdam dan Singapura yang mendorong efisiensi bahan bakar sekitar 1% per tahun. Dalam skenario MD, gas/diesel oil akan terus turun selama 2050 dengan pemanfaatan LNG meningkat pasca 2030. Untuk skenario GT, konsumsi energi tumbuh rata-rata 1.1% per tahun hingga 2060 atau sebesar 0.21 juta TJ pada tahun 2060. Hal ini terutama didorong regulasi yang mendorong efisiensi bahan bakar lebih dari 1% per tahun. Dalam skenario GT, bauran bahan bakar rendah emisi adalah sekitar 42% pada tahun 2060, dengan jenis bahan bakar seperti hidrogen dan amonia mulai meningkat pasca 2040 dan menyebabkan penurunan HSFO dan LSFO, dan penurunan lebih jauh lagi untuk gas/diesel oil.
Sektor maritim memerlukan berbagai efisiensi yang dapat menurunkan konsumsi total armada sekitar 23-40% pada tahun 2050. Beberapa efisiensi yang dapat dilakukan seperti perencanaan jelajah, perawatan baling-baling, dan perawatan lambung kapal. Sementara untuk bahan bakar rendah karbon di sektor maritim sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan tidak akan ekonomis tanpa harga karbon yang tinggi. Di sisi lain, TCO bahan bakar kapal alternatif perlu turun antara 20-40% pada 2030 agar dapat lebih kompetitif dengan fuel oil.
Konsumsi energi di sektor industri nasional diproyeksikan akan tumbuh rata-rata 2.2% per tahun dengan total konsumsi pada tahun 2060 sebesar 6.9 juta TJ dalam skenario LT. Sementara rata-rata pertumbuhan konsumsi energi di skenario MD hampir mendekati skenario LT yaitu 2.2% per tahun dan skenario GT lebih rendah lagi yaitu 1.8% per tahun. Hal ini terutama didorong oleh peningkatan elektrifikasi dan pemanfaatan hidrogen di sektor industri. Dalam skenario LT, batubara masih digunakan di sektor industri dan terus mengalami pertumbuhan hingga tahun 2060 sebesar rata-rata 1.7% per tahun, dengan porsi bauran sebesar 29% pada tahun 2060 atau dalam jumlah energi sekitar 2 juta TJ. Sementara itu listrik juga mengalami pertumbuhan hingga tahun 2060 sebesar rata-rata 3.1% per tahun dengan porsi bauran pada 2060 sebesar 18% atau dalam jumlah energi sekitar 1.2 juta TJ. Hidrogen terus mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 2.3% per tahun hingga 2060 dengan porsi bauran pada 2060 sebesar 6% atau dalam jumlah energi sekitar 0.39 juta TJ. Dalam skenario LT, hidrogen terutama digunakan pada industri kimia, kemudian baru pada tahun 2030 hidrogen mulai digunakan pada industri besi baja dan porsi kecil kemudian digunakan juga di industri lainnya. Sementara itu, minyak dan gas dalam skenario LT masih digunakan dalam sektor industri dengan tingkat pertumbuhan sebesar rata-rata 2.6% hingga 2060 dengan porsi bauran 41% atau dalam jumlah energi sebesar 2.8 juta TJ pada 2060. Dengan porsi tersebut, maka bauran energi fosil di sektor industri pada skenario LT masih mencapai sekitar 70% pada tahun 2060.
Bauran energi fosil di sektor industri nasional diproyeksikan berada di sekitar 58% pada tahun 2060 di skenario MD atau dalam jumlah energi sebesar 3.9 juta TJ. Tingkat pertumbuhan energi fosil di sektor industri masih berada dalam rata-rata 1.6% per tahun. Dalam skenario ini, batubara mencapai sekitar 20% bauran pada tahun 2060, namun pertumbuhannya cenderung menurun dengan rata-rata per tahun sebesar 0.7%. Penurunan konsumsi batubara terutama terjadi di sektor industri besi baja. Dalam skenario MD, batubara mulai digantikan oleh listrik dan hidrogen pada pertengahan 2030an. Sementara itu, pada skenario GT, bauran energi fosil di sektor industri nasional diproyeksikan berada di sekitar 34% pada tahun 2060 atau dalam jumlah energi sebesar 1.95 juta TJ. Dalam skenario GT, energi fosil mengalami penurunan sebesar rata-rata -0.1% per tahun hingga 2060, terutama didorong oleh penurunan batubara dan gas yang digantikan listrik dan hidrogen. Sementara minyak masih mengalami pertumbuhan sekitar rata-rata 1.4% per tahun hingga 2060 didorong oleh pertumbuhan konsumsi energi di industri kimia sekitar rata-rata 3.1% per tahun hingga 2060. Di setiap skenario, konsumsi minyak di sektor industri kimia masih mengalami pertumbuhan dengan LT sebesar rata-rata 4.3% per tahun hingga 2060 dan MD sebesar rata-rata 3.6% per tahun hingga 2060.
Sektor komersial dan rumah tangga termasuk sektor yang mengalami transisi energi. Di setiap skenario, bauran energi listrik mengalami peningkatan meskipun dalam tingkat yang berbeda. Meskipun, untuk sektor komersial, energi listrik saat ini dan ke depan akan terus mendominasi konsumsi energi final. Beberapa tahun ke depan, sektor komersial diproyeksikan akan menjadi sektor yang memegang peran kunci dalam pertumbuhan PDB atau ekonomi Indonesia. Sektor komersial merupakan sektor yang mencakup sektor jasa seperti perkantoran, sekolah, rumah sakit, tempat hiburan, pergudangan, hotel, dan pertokoan. Sektor ini merupakan sektor yang akan berkembang mengikuti pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Bangunan dalam sektor komersial memerlukan energi untuk pengoperasian pendingin ruangan, lift dan eskalator, penerangan, dan lain-lain. Sebagian besar dari peralatan tersebut memerlukan energi listrik sehingga dapat dipahami jika listrik merupakan jenis energi yang paling dominan pada sektor komersial. Di setiap skenario, pertumbuhan konsumsi listrik di sektor komersial ada di sekitar rata-rata 5% per tahun hingga 2060. Selain listrik, LPG juga masih akan berada dalam bauran konsumsi energi final sektor komersial. Meskipun pemanfaatan LPG di skenario MD dan GT diproyeksikan akan terus menurun karena konversi pemanfaatan listrik.
Untuk sektor rumah tangga, diproyeksikan ke depan akan terjadi elektrifikasi di setiap skenario, terutama dalam keperluan memasak dengan adanya konversi kompor listrik. Walaupun, tingkat elektrifikasi berbeda-beda di setiap skenario, dengan skenario LT merupakan skenario dengan tingkat elektrifikasi memasak terendah yaitu sebesar 15%, MD 45%, dan tertinggi GT sebesar 63% pada 2060. Selain itu, di setiap skenario pemanfaatan gas di sektor rumah tangga juga mengalami peningkatan dikarenakan adanya perluasan sambungan jaringan gas rumah tangga dengan tingkat perluasan yang berbeda-beda antar skenario yaitu terendah LT sejumlah 13 juta rumah tangga pada 2060, serta MD dan GT tercapai 23 juta rumah tangga. Asumsi tercapainya konversi kompor listrik dan jaringan gas memerlukan dorongan kebijakan dan pendanaan. Saat ini jaringan rumah tangga telah tercapai sekitar 800 ribu sambungan dengan target pemerintah sebanyak 4.7 juta pada 2025. Diproyeksikan pada skenario LT, sambungan gas rumah tangga pada 2025 baru akan tercapai 2.5 juta, pada skenario MD tercapai 4.7 juta dan GT 5 juta. Sementara itu konversi kompor listrik hingga saat ini masih belum terealisasi. Pada tahun 2025 diperlukan konversi sebesar 3% pada skenario LT, 5% pada MD, dan 13% pada GT. Selain kompor listrik dan jaringan gas, bauran bahan bakar untuk memasak juga terdapat DME, biomasa, arang, dan LPG.
Penggunaan listrik di sektor rumah tangga untuk skenario LT diperkirakan akan tumbuh rata-rata 3.4% per tahun hingga 2060, sementara skenario MD dan GT akan tumbuh rata-rata sekitar 3.9% per tahun hingga 2060. Pertumbuhan listrik yang tinggi di sektor rumah tangga selain disebabkan elektrifikasi memasak juga disebabkan oleh peningkatan penggunaan peralatan rumah tangga lain seperti AC dan charging kendaraan listrik di rumah. Selain listrik, energi yang masih tetap ada hingga 2060 untuk sektor rumah tangga di setiap skenario adalah LPG (minyak), meskipun porsi LPG dalam skenario GT akan semakin tergantikan oleh kompor listrik dan gas alam dari jaringan gas.
Pertumbuhan demand BBM merupakan sektor utama yang terdampak dengan transisi energi global menuju NZE. Hal ini dipengaruhi semakin meningkatnya penggunanaan kendaraan listrik menggantikan kendaraan bermotor konvensional (Internal Combustion Engine/ICE), termasuk juga dampak dari penggunaan biofuel sehingga dapat mengurangi penggunaan BBM. Secara umum berdasarkan hasil pemodelan untuk 3 skenario (LT, MD, GT), seluruh skenario diproyeksikan akan mencapai puncak penggunaan BBM sebelum tahun 2050 dan setelahnya akan mengalami penurunan permintaan.
Jika dirinci per skenario, pada skenario LT kebutuhan BBM akan meningkat tajam dari semula 1.694 kbpd (97 juta KL) di tahun 2021 menjadi 2.612 kbpd (149 juta KL) di tahun 2060, dengan puncak permintaan BBM terjadi di tahun 2048 sebesar 2.674 kbpd (153 juta KL). Selanjutnya untuk skenario MD, puncak permintaan BBM akan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan skenario LT yaitu terjadi di tahun 2037 sebesar 2237 kbpd (128 juta KL), setelah itu akan mengalami penurunan permintaan menjadi 1578 kbpd (90 juta KL) di tahun 2060. Sedangkan pada skenario GT, akan terjadi penurunan ekstrem kebutuhan BBM menjadi hanya 758 kpbd (43 juta KL ) di tahun 2060, pun halnya dengan puncak permintaan akan terjadi paling awal di tahun 2031 sebesar 117 kbpd dan setelah itu kebutuhan BBM akan menurun secara bertahap.
Sedangkan berdasarkan jenis BBM, produk gasoline dan gasoil paling terdampak dengan transisi energi, dengan peningkatan penggunaan kendaraan listrik dan peningkatan persentase kewajiban mandatori biodiesel. Sedangkan untuk BBN jenis avtur, diprediksi kebutuhannya akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan transportasi udara dan karakteristik bahan bakar avtur yang relatif belum dapat digantikan oleh bahan bakar jenis lain.
Gasoline
Peningkatan penggunaan kendaraan listrik menggantikan jenis kendaraan konvensional baik mobil penumpang dan sepeda motor, akan mempengaruhi kebutuhan BBM ke depannya terutama gasoline. Pada skenario LT, diasumsikan penetrasi kendaraan listrik belum terlalu dalam hingga tahun 2040, sehingga sampai dengan tahun 2040 masih terjadi peningkatan kebutuhan gasoline dari 545 kbpd (31 juta KL) di tahun 2021 menjadi 812 kbod (46 juta KL) di tahun 2040. Pasca 2040, dengan jumlah kendaraan listrik yang sudah signifikan mampu meredam pertumbuhan gasoline sehingga pertumbuhan demand nya melambat. Hal ini berdampak pada permintaan gasoline pada tahun 2060 akan turun menjadi 697 kbpd (40 juta KL).
Sedangkan untuk skenario MD, hal-hal yang mempengaruhi demand gasoline antara lain penetrasi kendaraan listrik yang lebih masif dibandingkan skenario LT, serta mulai diimplementasikannya penggunaan biogasoline berupa bioethanol. Dalam skenario MD ini, diasumsikan penggunaan bioetanol akan dimulai pada tahun 2025 dengan mandatori sebesar 1%, yang kemudian meningkat bertahap hingga 5% di tahun 2029 dan konstan hingga tahun 2060. Puncak kebutuhan gasoline pada skenario MD akan lebih awal dibandingkan skenario LT, yaitu pada tahun 2032 sebesar 677 kbpd (39 juta KL), yang kemudian akan melambat hingga mencapai 156 kbpd (9 juta KL) di tahun 2060 seiring popolasi kendaraan listrik yang semakin meningkat dan juga kebijakan penghentian penjualan kendaraan konvensional yaitu untuk mobil mulai tahun 2050 dan untuk sepeda motor mulai tahun 2045.
Selanjutnya untuk skenario GT, puncak kebutuhan gasoline akan terjadi paling awal dibandingkan 2 skenario lainnya yaitu pada tahun 2025 sebesar 654 kbpd (37 juta KL), kemudian akan turun signifikan hingga menjadi 20 kbpd (1 juta KL) di tahun 2060. Faktor yang berpengaruh terhadap skenario ini adalah penggunaan biofuel sebesar 4% mulai tahun 2025 yang kemudian naik bertahap hingga 10% di tahun 2030, yang kemudian hingga konstan hingga 2060. Selain itu juga didukung oleh kebijakan penghentian penjualan mobil konvensional mulai tahun 2039.
Gasoil
Untuk proyeksi kebutuhan BBM jenis gasoil/diesel akan dipengaruhi dengan kebijakan transisi energi yang akan diterapkan ke depannya. Saat ini penggunaan gasoil digunakan oleh sektor transportasi (darat dan laut) dan industri termasuk pembangkit listrik. Kebijakan transisi energi ke depan yang akan mempengaruhi kebutuhan gasoil antara lain asumsi persentase kebijakan mandatori pencampuran biodiesel ke depannya, elektrifikasi untuk sektor transportasi dan sektor industri, gasifikasi pembangkit serta efisiensi pada industri. Khusus untuk penggunaan BBN (biodiesel) pada skenario LT digunakan asumsi persentase mandatori tidak berubah dengan saat ini yaitu sebesar 30%, selanjutnya untuk skenario MD digunakan asumsi peningkatan penggunaan biodiesel hingga 40% mulai 2025. Sedangkan pada skenario GT digunakan asumsi penggunaan 40% biodiesel mulai 2025 yang meningkat hingga 50% di tahun 2035.
Pada skenario LT, kebutuhan gasoil akan meningkat dari semula 406 kbpd (23 juta KL) di tahun 2021 menjadi 605 kbpd (35 juta KL) di tahun 2039 saat puncak kebutuhan, yang kemudian akan mengalami pertumbuhan negatif hingga mencapai 472 kbpd (27 juta KL) di tahun 2060. Walaupun belum signifikan, penurunan permintaan kebutuhan gasoil akan dipengaruhi antara lain penjualan truk listrik yang bertahap hingga 27% di tahun 2060, serta pengurangan penggunaan gasoil pada pembangkit dari semula mencapai 6,2 TWh di tahun 2021 menjadi 129 MWh di 2060.
Untuk skenario MD, puncak kebutuhan terjadi pada tahun 2036 sebesar 480 kbpd (27 juta KL) di tahun 2036, yang kemudian akan menurun hingga mencapai 259 kbpd (15 juta KL) di tahun 2060. Hal ini disebabkan mulai masifnya penggunaan truk listrik dengan pangsa penjualan mencapai 25% di tahun 2025 kemudian naik hingga 95% di tahun 2060 serta peningkatan efisiensi penggunaan mesin kapal laut hingga 40% di 2060.
Sedangkan untuk skenario GT, permintaan akan mencapai puncaknya di tahun 2032 sebesar 440 kbpd (25 juta KL) selanjutnya akan turun signifikan menjadi 45 kbpd (3 juta KL) di tahun 2060. Beberapa hal yang mendorong pengurangan penggunaan gasoil antara lain penghentian penggunaan gasoil untuk pembangkit listrik mulai tahun 2030, pangsa penjualan truk listrik hingga 98% mulai tahun 2035 dan mencapai 100% di tahun 2060, termasuk peningkatan efisiensi penggunaan mesin kapal laut hingga 50% di 2060.
Avtur
Terkait dengan proyeksi kebutuhan avtur, dalam jangka panjang akan terus meningkat khususnya untuk skenario LT dan MD walaupun dipengaruhi oleh efisiensi teknologi dan disrupsi bahan bakar pengganti seperti synthetic kerosene dan bioavtur. Selain itu, dalam jangka panjang International Air Transport Association (IATA) telah menargetkan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2050 dengan strategi mengurangi emisi melalui penggunaan SAF, teknologi baru serta implementasi offset and carbon capture.
Kebutuhan avtur pada skenario LT dan MD menghasilkan angka yang identik, meningkat signifikan dari 37 kbpd (2 juta KL) pada tahun 2021 menjadi 223 kbpd (13 juta KL) di tahun 2060. Hal yang membedakan adalah pada skenario LT, kebutuhan bahan bakar penerbangan sepernuhnya berasal dari fossil fuel/jet fuel konvensional. Sedangkan pada skenario MD, penggunaan bioavtur sudah dimulai sejak tahun 2040 dengan pangsa 2%, yang kemudian persentasenya akan meningkat hingga 27% di tahun 2060. Pada skenario MD juga dimulai penggunaan synthetic kerosene sebesar 1% pada tahun 2044, sedangkan di tahun 2060 penggunaannya meningkat hingga 4%.
Untuk skenario GT, hal yang mempengaruhi kebutuhan demand bahan bakar adalah efisiensi teknologi bahan bakar serta penggunaan synthetic kerosene dan bioavtur. Pada skenario GT, dengan semakin berkembangnya teknologi penerbangan, efisiensi meningkat dari 22% di tahun 2035 menjadi 43% di tahun 2050. Pun halnya dengan penggunaan bioavtur dan synthetic kerosene pada skenario GT yang lebih tinggi dibandingkan skenario LT dan MD. Pada skenario GT, penggunaan biooavtur dimulai sejak tahun 2033 sebesar 5% dan meningkat bertahap hingga mencapai 28% di tahun 2060. Sedangkan penggunaan synthetic kerosene dimulai tahun 2036 sebanyak 1% dan meningkat hingga 23% di tahun 2060.
Hal-hal tersebut menjadikan kebutuhan bahan bakar penerbangan pada skenario GT diproyeksikan akan mencapai puncaknya pada tahun 2035 dengan kebutuhan sebesar 113 kbpd (6,5 juta KL) pada tahun 2035 yang kemudian akan melambat hingga mencapai 100 kbpd (5,7 juta KL) di tahun 2060.
Secara umum proyeksi kebutuhan LPG menunjukkan demand yang menurun pada seluruh skenario. Hal tersebut merupakan dampak penguatan kebijakan Pemerintah untuk menekan penggunaan LPG, mempertimbangkan pasokan LPG yang sebagian besar berasal dari impor. Kebijakan pemerintah untuk menekan penggunaan LPG antara lain melalui perluasan jaringan gas bumi untuk rumah tangga (jargas) yang telah dimulai sejak tahun 2009, pencampuran Dimetil Eter (DME) yang rencananya mulai diimplementasikan mulai tahun 2026 dan penggunaan kompor induksi.
Pada skenario LT, kebutuhan LPG akan mencapai puncaknya pada tahun 2032 sebesar 277 kpbd (8,6 juta MT), dan kemudian akan mengalami perlambatan walaupun belum signifikan, sehingga pada tahun 2060 mencapai 250 kbpd (7,7 juta MT). Untuk skenario MD, dengan asumsi penggunaan kompor induksi mencapai 45% dari total rumah tangga dan jargas terbangun sebanyak 23 juta sambungan, maka pada 2060 kebutuhan LPG dapat ditekan menjadi 144 kbpd (4,5 juta MT) di tahun 2060. Sedangkan untuk periode yang sama pada skenario GT, dengan asumsi penggunaan kompor induksi yang lebih luas dibandingkan skenario MD, maka kebutuhan LPG diproyeksikan mencapai 56 kbpd (1,7 juta MT).
Konsumsi listrik di Indonesia mencapai 168,38 juta barel setara minyak (BOE) pada 2021. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi listrik di Indonesia naik 5,82% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 159,12 juta BOE. Melihat trennya, konsumsi listrik di dalam negeri cenderung meningkat selama satu dekade terakhir. Penurunan jumlah konsumsi hanya terjadi satu kali sebesar 0,93% dari 160,62 juta BOE menjadi 159,12 juta BOE pada tahun 2020. Berdasarkan penggunaannya, konsumsi listrik untuk rumah tangga menjadi yang terbesar di Indonesia, yakni 70,29 juta BOE pada 2021. Kemudian, konsumsi listrik untuk sektor industri sebanyak 60,97 juta BOE. Sedangkan, penggunaan listrik untuk komersial sebesar 36,92 juta BOE. Adapun, konsumsi listrik untuk transportasi menjadi yang paling rendah hanya sebesar 194.000 BOE.
Pertumbuhan Konsumsi Listrik Indonesia (Kementerian ESDM, 2022)
Adapun, konsumsi listrik per kapita di Indonesia mencapai 1.123 kilowatt hour (kWh) pada 2021. Jumlah itu tersebut meningkat 3,12% jika dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 1.089 kWh. Konsumsi listrik per kapita di Indonesia terus meningkat sejak 2015. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2017 sebesar 6,8%.  Pemerintah pun memperkirakan konsumsi listrik per kapita di dalam negeri meningkat pada 2022. Jumlahnya diproyeksi tumbuh 12,91% menjadi 1.268 kWh. Kondisi tersebut tak lepas dari tumbuhnya kapasitas terpasang pembangkit listrik. Selain itu, rasio elektrifikasi pun ditargetkan mencapai 100%.
Pertumbuhan Konsumsi Listrik (2015-2021) (Kementerian ESDM)
Pada tahun 2021 terdapat penambahan kapasitas pembangkit tenaga listrik sebesar 1.901,74 MW, penambahan transmisi sepanjang 3.820,61 kms, penambahan Gardu Induk sebesar 7.731 MVA, penambahan Jaringan Distribusi sepanjang 14.480,1 kms dan Gardu Distribusi sebesar 2.775,42 MVA. Selama periode 2021 terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi produksi listrik, yakni pemulihan ekonomi karena pandemi, kebijakan dekarbonisasi, dan cuaca ekstrem. Pemulihan ekonomi meningkatkan permintaan energi, sementara cuaca ekstrem dan sebaliknya cuaca ringan (mild weather) menyebabkan turunnya pasokan listrik dari EBT.
Penyusunan outlook sektor ketenagalistrikan ini menggunakan tiga skenario, yaitu: Market Driven (MD), Green Transition (GT) dan Low Transition (LT). Dalam ketiga scenario tersebut telah mengakomodasi semua potensi bisnis di masa mendatang, seperti kendaraan listrik, pemanfaatan biofuel, elektrifikasi baik di sektor industri maupun rumah tangga, pemanfaatan energi terbarukan, pemanfaatan hydrogen, CCS dan juga energi lainnya. Skenario MD menekankan pada penetrasi transisi energi yang mulai didukung sejumlah kebijakan terkait emisi, kendaraan listrik (EV), dan energi terbarukan (EBT). Skenario GT merupakan skenario dengan penetrasi tinggi terhadap impelemtasi transisi energi. Beragam kebijakan guna mengurangi emisi karbon juga menjamin adanya perubahan konsumsi energi.
Setelah mengalami penurunan konsumsi energi baik di level global, regional maupun nasional, permintaan energi listrik mulai kembali pulih pada tahun 2021 dan terlihat di tahun 2022. Terdapat optimisme yang besar atas pemulihan karena didorong program vaksinasi dan pengelolaan pandemi yang cukup efektif. Bangunan dan perumahan diproyeksikan menjadi sektor dengan permintaan listrik yang paling tinggi, disusul oleh sektor industry dan transportasi. Pertumbuhan permintaan di sektor bangunan dan industri disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi dan demografi. Sedangkan permintaan di sektor transportasi paling dominan pada skenario GT. Hal ini dipengaruhi semakin meningkatnya penggunaaan kendaraan listrik menggantikan kendaraan bermotor konvensional (Internal Combustion Engine/ICE).
Proyeksi Pemetaan Listrik per Sektor Tahun 2060
Secara umum berdasarkan hasil pemodelan untuk 3 skenario (LT, MD, GT), seluruh skenario diproyeksikan kebutuhan listrik Indonesia akan terus meningkat, dengan scenario GT mendorong kebutuhan paling tinggi, disusul oleh skenario MD dan LT.
Proyeksi Demand Ketenagalistrikan Indonesia
Dari sisi kapasitas terpasang, beberapa tahun terakhir, pembangkit tenaga fosil masih menjadi tulang punggung dengan porsi terbesar dari batubara dan gas, walaupun gas termasuk dianggap lebih hijau jika dibandingkan dengan batubara. Dari persentase penambahan kapasitas pembangkit listrik, data statistik IRENA (2021) menunjukkan bahwa terjadi tren peningkatan penambahan kapasitas pembangkit EBT dibandingkan dengan non-EBT, dengan lonjakan penambahan pada tahun 2020 dari sebelumnya persentase EBT dibandingkan non-EBT berada di kisaran 60% pada 2018, meningkat menjadi 75% hingga mendekati 90% pada tahun 2020. Sementara itu, penambahan kapasitas non-EBT mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir (2018-2020).
Selama periode 2022, secara global terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi produksi listrik, yakni pemulihan ekonomi karena pandemi, kebijakan dekarbonisasi, dan cuaca ekstrem. Pemulihan ekonomi meningkatkan permintaan energi, sementara cuaca ekstrem dan sebaliknya cuaca ringan (mild weather) menyebabkan turunnya pasokan listrik dari EBT. Ditambah dengan penambahan biaya karbon pada sumber listrik fosil, pembangkitan listrik menghadapi tantangan besar. Sumber energi listrik fosil sangat mahal, sementara pembangkit EBT tidak dapat memenuhi pasokan karena disrupsi cuaca.
Jika dilihat dari sisi faktor kapasitas (capacity factor), pembangkit EBT tenaga surya, bayu, dan air secara global hanya berada di bawah 60%, dengan tertinggi pembangkit tenaga air di kisaran 40%-50%, tenaga bayu lepas pantai fluktuatif di bawah 40%, tenaga bayu di darat 20%-30%, dan terendah panel surya di bawah 20%. Faktor kapasitas terbesar untuk EBT ada pada pembangkit panas bumi, yaitu berada di kisaran 80%. Hal ini memungkinkan untuk menjadikan pembangkit panas bumi sebagai baseload.
Pada periode sampai dengan tahun 2060, pada scenario MD dan GT, kapasitas berbasis solar PV diproyeksikan akan mendominasi, scenario MD 38,8% dan scenario GT 42,6%. Disusul oleh penggunaan batubara, di mana scenario MD memproyeksikan penggunaan batubara sebeasr 17,4% dan scenario LT batubara malah berkontribusi secara dominan sebesar 59,2%.
Semakin seringnya terjadi cuaca ekstrem, di masa mendatang akan memerlukan keandalan sistem pasokan energi, terutama listrik. Sampai dengan sistem penyimpanan energi seperti baterai cukup dapat diandalkan, sumber energi listrik fosil masih sangat diperlukan. Untuk saat ini, teknologi penyimpanan energi listrik adalah solid-state battery. Dengan keunggulan lebih aman, lebih ringan, dan kapasitas lebih baik daripada baterai konvensional saat ini (lithium-ion), beberapa perusahaan multinasional mulai masuk ke dalam pengembangan solid-state battery.
Proyeksi Bauran Per Jenis Pembangkit Tahun 2060 (GW)
Bauran Kapasitas 2021-2060 (GW)
Dari sisi pembangkitan terpasang, secara global pembangkit tenaga fosil masih menjadi tulang punggung dengan porsi terbesar dari batubara dan gas, walaupun gas termasuk dianggap lebih hijau jika dibandingkan dengan batubara.
Sektor energi merupakan suatu sistem kompleks. Outlook sektor energi yang memiliki tujuan untuk melihat rentang kemungkinan kejadian yang logis di masa mendatang. Namun, hal terpenting dalam suatu skenario bukan mengenai angka ataupun pola, melainkan cakupan kejadian (robustness) yang memungkinkan penggunanya untuk melihat berbagai risiko dan peluang di masa mendatang sehingga dapat disiapkan strategi untuk menghadapi risiko ataupun untuk menangkap peluang tersebut.
Di sektor kelistrikan dan pembangkit EBT, pengembangan skenario yang dikaitkan dengan keberhasilan dunia dalam mencapai Perjanjian Paris, yaitu menahan peningkatan suhu global (1,5 derajat celsius, 2 derajat celsius, atau gagal), dari perspektif kebijakan atau transisi energi itu sendiri. Pada outlook pembagngkitan sampai dengan tahun 2060, scenario MD, penggunaan pembangkitan batubara (27,8%) dan gas (31,9%) masih mendominasi, disusul oleh pembangkitan yang berasal dari PV (21,1%).
Namun pada scenario GT, pembangkitan batubara turun menjadi 7,9%. Sebaliknya solar PV meningkat menjadi 24,4%, disusul oleh gas sebesar 24,7%. Selanjutnya pembangkit hydro sebesar 12,9%, gas CCS sebesar 8,9% dan geothermal sebesar 6,5%. Pada scenario LT, pembangkitan batubara sangat mendominasi sebesar 68,4% disusul oleh pembangkitan gas sebesar 19,1%.
Beberapa lembaga memberikan perhatian terhadap adanya tren peningkatan beberapa faktor berikut di sektor kelistrikan dan EBT, dengan kecepatan dan tingkat pertumbuhan yang berbeda bergantung pada skenario yang digunakan yaitu:
tren peningkatan porsi elektrifikasi dalam konsumsi energi final;
tren peningkatan porsi EBT di sektor pembangkit listrik, transportasi, industri, bangunan, termasuk juga pasokan energi primer;
tren peningkatan produksi KLBB dan infrastruktur pendukungnya;
tren peningkatan konsumsi listrik langsung.
Selain hal di atas, proyeksi pertumbuhan porsi hidrogen hijau dalam konsumsi energi final juga menjadi perhatian. Hal ini sejalan dengan prioritas beberapa perusahaan ataupun negara dalam pembangunan ekonomi berbasis hidrogen serta pemanfaatannya untuk sektor yang sulit diturunkan emisinya (seperti kendaraan angkut berat), dan perkembangan riset dan pengembangan hidrogen.
Bauran Pembangkitan 2060 (GWh)
Bauran Pembangkitan 2021-2060 (GWh)
Pendorong demand dari sustainable fuel terutama dari kebijakan. Hal ini yang mendasari asumsi dari 3 skenario. Pada skenario Low Transition, kurangnya dukungan kebijakan terkait net-zero, mempertahankan kebijakan saat ini terkait tingkat pencampuran secara global dan di SEA (misalnya B20 di Indonesia). Adapun pada skenario Market Driven, komitmen net-zero sesuai dengan saat ini yaitu Eropa dan AS pada 2050, Tiongkok dan Indonesia pada 2060, SEA pada 2060 atau lebih awal. Kebijakan tingkat pencampuran diterapkan secara global dan di SEA lebih tinggi dari skenario low transition (misalnya B30 di Indonesia dan B10 di Malaysia). Sedangkan pada skenario Green Transition, kebijakan net-zero diterapkan pada tahun 2050 di negara maju dan pada tahun 2060 di negara berkembang. Kebijakan tingkat pencampuran di diterapkan lebih tinggi secara global dan di SEA (misalnya B40 di Indonesia).
Proyeksi Demand Liquid Sustainable Fuels (dalam %)
Pada skenario Market Driven, industri biofuel Indonesia didorong oleh ketersediaan minyak nabati seperti minyak sawit. Konsumsi terkonsentrasi di transportasi darat karena mandat biodiesel dan etanol. Konsumsi SAF diperkirakan akan terbatas dalam jangka menengah setelah tahun 2035, peningkatan penetrasi kendaraan listrik dari pasar transportasi pun menyebabkan penurunan penggunaan kendaraan ICE dan penurunan terkait bahan bakar cair.
Penyerapan kendaraan listrik berdasarkan beberapa skenario dapat dipengaruhi oleh kebijakan, biaya, dan perilaku konsumen. Pada skenario Low Transition, tidak terdapat kebijakan larangan penggunaan kendaraan ICE baru, kurangnya komitmen terhadap net-zero, baterai listrik mencapai TCO parity di negara maju pada 2030 dan pasca-2035 di negara berkembang, harga baterai di atas $100/kWh pada tahun 2030, infrastruktur pengisian daya yang terbatas karena sebagian besar pengisian daya adalah di rumah, dan pengguna B2C jarak jauh tidak beralih ke kendaraan listrik.
Pada skenario Market Driven, larangan kendaraan ICE berpotensi diberlakukan di UE, Tiongkok, dan AS pada tahun 2035, larangan kendaraan ICE di negara berkembang dan SEA dilakukan setelah tahun 2040 (misalnya Thailand), komitment net-zero sesuai dengan undang-undang saat ini atau yang diusulkan; misal nya Eropa dan AS pada 2050, Tiongkok & Indonesia pada 2060, Asia Tenggara pada 2060. Baterai kendaraan listrik mencapai TCO parity sebelum tahun 2025 di UE, AS dan Tiongkok, dan pada tahun 2030 di Asia Tenggara (Indonesia) didorong oleh penurunan harga baterai di bawah 90 $/kWh pada tahun 2030. Sebagian besar pengisian daya dilakukan di rumah, namun dengan banyak nya kendaraan lisrik dapat memicu perusahaan dalam investasi pada infrastruktur pengisian daya.
Adapun pada skenario Green Transition, terdapat beberapa larangan kendaraan ICE termasuk di negara berkembang dan Asia Tenggara (misalnya Indonesia dan Malaysia), kebijakan net-zero diterapkan pada tahun 2050 di negara maju dan pada tahun 2060 di negara berkembang. Baterai listrik mencapai TCO parity pada tahun 2025 di semua wilayah, didorong oleh harga baterai yang turun di bawah 70 $/kWh pada tahun 2030. Pemerintah global pun berinvestasi dalam infrastruktur charging dalam mengadopsi kendaraan listrik.
Kebijakan jenis regulasi dapat mendukung adopsi kendaraan listrik dan mempunyai dampak yang berbeda. Kebijakan dengan dampak tertinggi yaitu kebijakan net-zero, kemudian diikuti oleh kebijakan pelarangan kendaraan ICE dan kebijakan fuel efficiency / CO2 emission. Kebijakan net-zero berarti mengurangi hampir nol emisi dari transportasi, dengan mayoritas penggunaan kendaraan listrik, dan kendaraan ICE yang tersisa menggunakan bio/synfuels. Kebijakan pelarangan penjualan kendaraan ICE yang baru dapat mendorong penggunaan kendaraan listrik. Sedangkan kebijakan fuel efficiency / CO2 emission menerapkan efisiensi bahan bakar / regulasi emisi CO2, memungkinkan peningkatan efisiensi untuk kendaraan ICE, dan pengunaan kendaraan listrik untuk memenuhi target yang lebih agresif.
Harga battery pack telah turun signifikan dalam dekade terakhir yang mencapai 137 $/kWh pada tahun 2020. Tingkat penurunan diperkirakan akan melambat, karena manfaat skala biaya ekonomi sebagian besar telah dimanfaatkan, diperkirakan harga baterai akan turun menjadi 59 $/kWh pada tahun 2050 di skenario green transition, 80 $/kWh di skenario Market Driven, dan 88 $/kWh di skenario Low Transition.
Penjualan EV Global dan Indonesia (BEV+PHEV+FCEV), %
Kebijakan jenis regulasi dapat mendukung adopsi kendaraan listrik dan mempunyai dampak yang berbeda. Kebijakan dengan dampak tertinggi yaitu kebijakan net-zero, kemudian diikuti oleh kebijakan pelarangan kendaraan ICE dan kebijakan fuel efficiency / CO2 emission. Kebijakan net-zero berarti mengurangi hampir nol emisi dari transportasi, dengan mayoritas penggunaan kendaraan listrik, dan kendaraan ICE yang tersisa menggunakan bio/synfuels. Kebijakan pelarangan penjualan kendaraan ICE yang baru dapat mendorong penggunaan kendaraan listrik. Sedangkan kebijakan fuel efficiency / CO2 emission menerapkan efisiensi bahan bakar / regulasi emisi CO2, memungkinkan peningkatan efisiensi untuk kendaraan ICE, dan pengunaan kendaraan listrik untuk memenuhi target yang lebih agresif.
Harga battery pack telah turun signifikan dalam dekade terakhir yang mencapai 137 $/kWh pada tahun 2020. Tingkat penurunan diperkirakan akan melambat, karena manfaat skala biaya ekonomi sebagian besar telah dimanfaatkan, diperkirakan harga baterai akan turun menjadi 59 $/kWh pada tahun 2050 di skenario green transition, 80 $/kWh di skenario Market Driven, dan 88 $/kWh di skenario Low Transition.
Penyerapan hidrogen didorong oleh ekonomi dan tingkat ambisi dekarbonisasi dengan 3 skenario. Pada skenario low transition, tidak terdapat permintaan pada sektor pembangkit panas, baja, aviasi & maritim, rumah tangga dan komersial, serta pembangkit.
Adapun pada skenario market driven, pangsa hidrogen dalam industri baja secara global mencapai ~1% pada tahun 2030, ~3% pada tahun 2040 dan ~6% pada tahun 2050. Untuk sektor transportasi jalan raya, ~10% penjualan truk dan bus di Cina dan OECD adalah fuel cells pada tahun 2030, ~dan ~50% pada tahun 2050. Untuk sektor aviasi dan maritim, H2 digunakan untuk produksi synfuel. H2, syn-kerosene, ammonia dan syn-methanol mencapai ~10% konsumsi bahan bakar penerbangan & maritim global pada tahun 2030. Untuk residential & commercial, volume pencampuran/penggantian H2 dengan gas alam di EU28 mencapai ~10% pada tahun 2040, dan ~70% pada tahun 2050.
Sementara pada skenario green transition, pangsa hidrogen dalam produksi baja secara global dapat mencapai ~1% pada tahun 2030, ~5% pada tahun 2040 dan ~12% pada tahun 2050. Untuk sektor road transport, ~20% penjualan truk dan bus di Cina dan OECD adalah fuel cells pada tahun 2030 , dan ~50% pada tahun 2050. Penjualan fuel cells di negara berkembang tertinggal 10-20%. H2 juga digunakan secara langsung dan untuk produksi synfuel. H2 dan turunannya mencapai ~10% konsumsi bahan bakar penerbangan & maritim global pada tahun 2030. Tingkat volume pencampuran/penggantian H2 dengan gas alam di EU28 mencapai ~18% pada tahun 2030, dan ~54% pada tahun 2030 dan ~90% pada tahun 2050.
Sensitivitas supply dan demand hidrogen didorong oleh biaya dan kebijakan di Indonesia. Supply hydrogen diperkiraan mencapai 13 MTPA pada tahun 2060 di skenario green transition, 6 MTPA di skenario market driven, dan 3 MTPA di skenario low transition.
Untuk skenario LT, hidrogen diperkirakan akan bertumbuh sebesar rata-rata 1.3% per tahun hingga 2060 di sektor industri kimia. Sementara itu, hidrogen akan mulai digunakan dalam sektor industri besi baja mulai tahun 2031 sebesar 2 ribu TJ dan tumbuh hingga 114 ribu TJ, dan industri lainnya dengan porsi yang sangat kecil yaitu 10 ribu TJ pada tahun 2060. Pemanfaatan hidrogen untuk transportasi darat di skenario LT diperkirakan baru terjadi pada tahun 2031 dan tumbuh sebesar rata-rata 14.5% per tahun hingga 2060 dengan jumlah sebesar 10 ribu TJ. Sektor pengguna hidrogen pada skenario MD tidak berbeda jauh pada skenario LT, perbedaannya hanya pertumbuhan hidrogen yang lebih tinggi pada skenario MD. Dalam skenario MD, pertumbuhan hidrogen adalah sebesar rata-rata 4.6% per tahun hingga tahun 2060 dengan konsumsi sebesar 1 juta TJ, lebih besar dibandingkan pertumbuhan LT sebesar rata-rata 2.3% per tahun dengan konsumsi sebesar 0.4 juta TJ. Pertumbuhan hidrogen dalam skenario MD terutama didorong oleh sektor transportasi, produksi bahan bakar sintetis, dan industri besi baja yang mencapai sekitar 90% dari total pertumbuhan permintaan dan mencapai sekitar 8.6 juta ton per tahun pada tahun 2060. Pemanfaatan hidrogen di sektor transportasi terutama digunakan pada kendaraan berat. Sementara itu, pertumbuhan hidrogen tertinggi terdapat pada skenario GT yaitu sebesar rata-rata 6.5% per tahun hingga 2060 dengan konsumsi sebesar 2.1 juta TJ pada tahun 2060. Dalam skenario GT, hidrogen tidak hanya digunakan pada sektor transportasi darat, namun juga maritim dan aviasi. Perkembangan ini akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan konsumsi energi final per sektor. Sementara itu, pemanfaatan hidrogen diproyeksikan akan meningkat di sektor industri terutama didorong oleh pemanfaatan hidrogen secara langsung sebagai bahan bakar dan blending dengan gas alam untuk penghasil panas tinggi, bahan bakar sintetis, dan produksi listrik pada pembangkit panas rendah-menengah. Porsi hidrogen dalam total bahan bakar pemanas di sektor industri mencapai sekitar 1% pada 2030, 3% pada 2040, dan 7-8% pada 2050.
Dari sisi pasokan, saat ini sumber hidrogen masih berasal dari energi fosil (hidrogen abu-abu). Ke depan hidrogen akan dipenuhi dari berbagai sumber terutama hidrogen hijau yang berasal dari sumber energi bersih. Hidrogen hijau diproyeksikan akan mulai masuk setelah 2030 terutama didorong oleh penurunan biaya.
Saat ini hidrogen abu-abu merupakan sumber hidrogen termurah, namun dalam skenario MD, ke depan biaya hidrogen abu-abu akan terus meningkat terutama disebabkan oleh peningkatan biaya karbon. Sehingga dalam jangka pendek, hidrogen biru yang berasal dari gas akan mengalahkan biaya hidrogen abu-abu. Sementara itu, hidrogen hijau yang saat ini biayanya tertinggi, akan terus mengalami penurunan dan setelah 2030 akan mencapai parity dengan hidrogen biru.
Biaya hidrogen biru bergantung pada harga gas alam yaitu sekitar 60-80% dari total biaya hidrogen biru. Sementara itu, biaya hidrogen hijau bergantung pada biaya electrolyzer dan pembangkit EBT. Diharapkan dalam satu dekade mendatang biaya energi EBT akan mengalami perbaikan yang signifikan sehingga menurunkan biaya hidrogen hijau. Lain halnya dengan biaya electrolyzer yang penurunannya bergantung pada skala produksi dan perbaikan desain sistem (seperti misalnya optimisasi plant, pencarian ukuran optimal, atau memanfaatkan desain modular untuk berbagai pemanfaatan). Ke depan, tingkat pemanfaatan hidrogen di berbagai sektor akan sangat bergantung pada keekonomian, selain juga ambisi dekarbonisasi.
Peningkatan populasi dan taraf hidup masyarakat akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan energi. Karena itu, jika tidak diikuti dengan pemilihan jenis bahan bakar yang berkadar karbon rendah, penggunaan teknologi yang efisien, dan ramah lingkungan, akan berdampak pada tingginya laju pertumbuhan emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran sumber energi. Pelepasan emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran energi di sektor komersial, rumah tangga, industri, transportasi, dan pembangkit listrik ke atmosfer dalam jumlah tertentu akan berdampak terhadap pemanasan global. Emisi CO2 tersebut juga termasuk yang diakibatkan oleh proses produksi dan pengolahan energi, seperti wilayah produksi migas atau pertambangan, kilang minyak, kilang LPG, kilang LNG, dan kilang biofuel.
Berdasarkan skenario LT, pada tahun 2060 emisi energi akan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 1.527 juta ton. Pada skenario MD, emisi energi mencapai puncak pada tahun 2040 dan kemudian mencapai 820 juta ton pada akhir tahun proyeksi. Adapun pada skenario GT, emisi energi mencapai puncak pada tahun 2034 kemudian menurun hingga 2043 dan meningkat Kembali setelahnya hingga akhir tahun proyeksi sebesar 782 juta ton karena penggunaan kembali batubara. Namun, penggunaan kembali batubara pada skenario GT disebabkan karena teknologi CCS/CCUS sudah mencapai tingkat keekonomian. Sehingga, secara emisi bersih (setelah penggunaan CCS/CCUS) emisi mencapai puncak pada tahun 2034 kemudian turun hingga akhir tahun proyeksi sebesar 145 juta ton. Jumlah ini kemudian dioffset menggunakan penyerapan karbon berbasis alam (natural sink) dan tercapai Net Zero Emission sepenuhnya.
Berdasarkan sektornya, penyumbang emisi terbesar adalah sektor pembangkit listrik disebabkan sebagian besar bahan bakar yang dimanfaatkan di sektor tersebut adalah bahan bakar yang kandungan karbonnya tinggi, terutama batubara dan juga BBM. Porsi emisi bersih pembangkit listrik terhadap total emisi bersih pada skenario MD di tahun 2060 adalah sebesar 50%. Sementara pada skenario LT adalah sebesar 66%. Dikarenakan pada skenario GT sudah terdapat penggunaan masif CCS/CCUS di sektor pembangkit, maka emisi di sektor pembangkit tercapai emisi negatif.
Sektor industri merupakan penyumbang emisi bersih terbesar kedua dalam skenario MD dengan porsi 27% di 2060 diikuti sektor transportasi dengan porsi 9%. Sementara itu pada skenario LT porsi sektor industri adalah sebesar 20% dan transportasi 11%. Pada skenario GT, emisi pada sektor selain pembangkit masih net positif namun jumlahnya mengalami penurunan kecuali pada sektor industri semen & beton yang sulit untuk diturunkan. Dalam skenario MD dan GT, penetrasi kendaraan listrik menyebabkan emisi transportasi mengalami penurunan dalam jangka panjang. Sementara pada sektor industri, kecuali pada semen & beton, emisi bersih mengalami penurunan karena elektrifikasi, pemanfaatan gas dan hydrogen. Sementara itu, sektor lainnya seperti rumah tangga dan komersial merupakan sektor dengan tingkat emisi paling kecil, yang secara jangka panjang akan mengalami penurunan terutama karena peralihan bahan bakar memasak menggunakan kompor listrik.
Untuk mendapatkan penurunan emisi, penetrasi teknologi rendah karbon diperlukan di seluruh sektor pengguna energi. Peta jalan strategi pengelolaan energi jangka panjang perlu disusun sehingga pencapaian penurunan karbon dapat membawa manfaat, tidak hanya untuk pemerintah, tetapi juga badan usaha. PEO 2022 memberikan gambaran umum mengenai peta jalan pemanfaatan energi yang disesuaikan dengan kesiapan pasar dan teknologi. Pada skenario MD, diperlukan elektrifikasi di berbagai sektor dan pemanfaatan berbagai jenis EBT untuk menahan laju peningkatan emisi. Sementara itu pada skenario GT, selain elektrifikasi di berbagai sektor dan pemanfaatan EBT, diperlukan juga teknologi penangkapan karbon seperti CCS/CCUS untuk menurunkan emisi hingga tercapai NZE. Baik dalam skenario MD dan GT, diperlukan offset karbon untuk memastikan bahwa emisi dapat lebih lanjut diturunkan. Oleh karena itu solusi berbasis alam seperti hutan hujan dan mangrove sangat diperlukan. Pemanfaatan solusi berbasis lautan juga perlu untuk lebih lanjut dikembangkan. Selain itu, untuk mencapai tingkat elektrifikasi dan penggunaan EBT, diperlukan kebijakan seperti pensiun batubara dan penghentian penjualan kendaraan konvensional. Pengembangan hidrogen baik sebagai bahan bakar langsung, sebagai penyimpanan energi seperti fuel cell, maupun bahan untuk menghasilkan bahan bakar sintetis juga perlu untuk dikembangkan lebih jauh.