Setelah bersama-sama menghadapi pandemi COVID-19, kita kembali menghadapi krisis yang dipicu oleh konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Walaupun dalam 3 tahun terakhir terjadi perkembangan positif dalam hal transisi energi. Namun beberapa situasi yang kita hadapi saat ini kembali menimbulkan ketidakpastian dalam proses transisi energi ke depan.
Krisis iklim
Konflik geopolitik
Resesi Ekonomi
Krisis Energi
Kebijakan
Teknologi
Pendanaan
Rantai Pasok
Pertamina Energy Outlook memberikan 3 alternatif perspektif mengenai apa yang akan terjadi pada sektor energi Indonesia pada tahun 2060, implikasinya, dan bagaimana perjalanan kita menuju ke sana...
3 perspektif alternatif dalam 3 Skenario dengan peningkatan temperatur yang berbeda....
Low Transition
~3°C
Rendahnya investasi di energi alternatif, terutama di negara berkembang.
Pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi menggunakan sumber energi yang terjangkau.
Target NZE 2060 tidak tercapai karena fokus pada bahan bakar fosil untuk pertumbuhan ekonomi.
Market Driven
~2.4°C
Transisi energi terus mendapatkan momentum dengan tingkat yang berbeda.
Negara maju lebih cepat, negara berkembang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan, namun pasca 2030 negara berkembang menyusul.
Target NZE 2060 tidak sepenuhnya tercapai, namun carbon offset dan natural based solutions dapat mengoffset kelebihan emisi.
Green Transition
~1.7°C
Akselerasi transisi energi di seluruh dunia, dengan memprioritaskan keterjangkauan.
Dalam dekade ini, berbagai negara berinvestasi lebih dan menetapkan regulasi yang jelas untuk mencapai target Nol Emisi.
Perkembangan teknologi sangat cepat.
Target NZE 2060 tercapai sepenuhnya karena konversi elektrifikasi didukung sistem energi terbarukan.
setiap skenario memiliki asumsi dan implikasinya...
OUTLOOK ENERGI NASIONAL
Bahan bakar
Tingkat elektrifikasi kendaraan.
Tingkat pemanfaatan bahan bakar nabati dan porsi pencampurannya.
Pemanfaatan bahan bakar sintetis, terutama yang diproduksi dari hidrogen.
Puncak permintaan minyak.
Petrokimia (Non-energi)
Pertumbuhan permintaan petrokimia. Salah satu penyebabnya, kendaraan listrik membutuhkan material bahan baku yang lebih banyak dibandingkan kendaraan ICE.
Kelistrikan
Peningkatan permintaan tergantung tingkat elektrifikasi di setiap skenario.
Perubahan porsi pemanfaatan batubara.
Peningkatan bauran EBT di sektor pembangkit.
Gas
Pertumbuhan permintaan gas. Di skenario Market Driven dan Green Transition, pemanfaatan gas di sektor pembangkit meningkat karena menggantikan sejumlah porsi batubara. Namun di sektor industri, untuk skenario Green Transition, permintaan gas menurun karena elektrifikasi dan pemanfaatan hidrogen.
Hidrogen
Pemanfaatan hidrogen di berbagai sektor terutama dalam skenario Green Transition yaitu untuk sektor transportasi, produksi bahan bakar sintetis, dan berbagai industri.
Setiap skenario memiliki implikasi sebagai berikut:
Adaptasi iklim
Perbedaan pencapaian peningkatan temperatur di setiap skenario menimbulkan implikasi pada perbedaan peningkatan cuaca ekstrem (analisis di sini).
Skenario dengan peningkatan temperatur tertinggi akan menghadapi cuaca ekstrem yang lebih parah dibandingkan skenario dengan peningkatan temperatur terendah.
Beberapa cuaca ekstrem yang akan dihadapi Indonesia ke depan seperti kekeringan panjang, curah hujan tinggi, dan badai.
Selain itu, peningkatan suhu akan meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit dan pandemi baru. Seperti misalnya nyamuk demam berdarah yang lebih cepat berkembang biak dalam temperatur yang lebih hangat.
Diperlukan aksi adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim di berbagai sektor. Dalam sektor energi beberapa contoh aksi adaptasi adalah, perencanaan sumber air bersih untuk PLTA atau pertambangan, sistem penyimpanan energi untuk mengatasi kelemahan intermitensi pembangkit tenaga surya maupun angin, peningkatan keandalan aset dan infrastruktur terhadap cuaca ekstrem, dan perencanaan rantai pasok untuk menghadapi disrupsi cuaca ekstrem (analisis rantai pasok dapat dilihat di sini).
Perencanaan energi
Selain keperluan adaptasi, diperlukan juga perencanaan bauran energi untuk aksi mitigasi.
3 skenario yang berbeda menunjukkan bahwa pencapaian bauran energi masih dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kebijakan pemerintah, keandalan rantai pasok teknologi bersih, penurunan biaya, terobosan teknologi, dan skema pendanaan. Oleh karena itu, untuk mencapai bauran yang lebih tinggi, diperlukan perkembangan terkait hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya.
Namun, terdapat rentang ketidakpastian atas permintaan energi fosil dengan yang tertinggi di skenario Low Transition dan terendah di skenario Green Transition. Oleh karena itu, transisi energi yang terlalu cepat di sisi pasokan namun tidak diimbangi percepatan dari sisi permintaan akan menyebabkan disrupsi seperti krisis energi dan harga energi yang tinggi. Sehingga, diperlukan percepatan transisi energi dari sisi konsumen. Selain itu, sistem pasokan energi yang melibatkan hubungan antar negara juga rentan terhadap isu geopolitik. Oleh karena itu, diperlukan juga cadangan energi jika transisi energi di sisi konsumen berjalan lambat dan jika terjadi disrupsi selama proses transisi energi.
Kebutuhan investasi dan divestasi
Transisi energi akan memerlukan investasi yang besar. Di Indonesia, migas masih akan diperlukan meskipun dalam tingkat yang berbeda bergantung pada perkembangan transisi energi. Permasalahannya, saat ini produksi minyak nasional masih terus mengalami tren penurunan, dan umur cadangan nasional hanya berkisar 9 tahun (selengkapnya di sini).
Untuk menurunkan emisi, diperlukan proyek-proyek sekuestrasi (untuk menyerap emisi yang dihasilkan, misalnya dari energi fosil) dan penghindaran (untuk menghindari terlepasnya emisi, misalnya pemanfaatan bahan bakar nabati atau efisiensi energi).
Untuk proyek sekuestrasi, diperlukan investasi teknologi penangkapan karbon seperti CCS/CCUS, serta investasi penelitian dan pengembangan untuk menemukan terobosan seperti DACCS. Selain itu, diperlukan juga investasi untuk Natural Based Solutions (NBS).
Sementara itu untuk proyek penghindaran, diperlukan investasi teknologi seperti hidrogen, nuklir, atau bahan bakar nabati, serta investasi penelitian dan pengembangan untuk menemukan terobosan seperti bahan bakar sintetis. Selain itu, diperlukan juga investasi untuk pembentukan industri energi bersih (misalnya, industri panel surya dalam negeri dari hulu ke hilir) dan industri berbasis energi bersih (misalnya, green industrial complex).