Dengan peningkatan komitmen transisi energi dan pencapaian Net Zero Emission (NZE) secara global, sektor energi fosil merupakan sektor yang terpapar risiko transisi seperti risiko kebijakan dan legal, teknologi, pasar, dan Reputasi. Di sektor migas, seperti yang terjadi pada 26 Mei 2021, 3 Big Oil yaitu ExxonMobil, Chevron, dan Shell mendapat tekanan transisi energi dari pemegang saham dan aktivis lingkungan [1]. Tidak hanya Big Oil, negara bagian Texas di Amerika Serikat yang merupakan negara bagian produsen migas juga mengalami tekanan dari investor dan bank yang memboikot perusahaan energi fosil di negara bagian tersebut. Namun, pemerintah negara bagian Texas melakukan perlawanan dengan melarang 10 bank besar dan 348 lembaga pengelola investasi yang melakukan pemboikotan terhadap investasi energi fosil [2].
Tren dan Outlook Investasi hulu Migas (sumber: Rystad Energy Ucube – diolah)
Dalam sebuah laporan dari IEF & IHS Markits (2021), sektor hulu migas telah mengalami penurunan investasi sebesar 30% pada tahun 2020 menjadi USD 309 Miliar. Nilai tersebut sedikit pulih pada tahun 2021 yaitu sekitar USD 341 Miliar, namun investasi migas belum pulih ke tingkat sebelum pandemi. Sementara itu berdasarkan laporan dari IEA (2022a), investasi total sektor hulu migas diperkirakan akan pulih 10% pada tahun 2022, meskipun nilai ini masih 20% lebih rendah dari tingkat sebelum pandemi. Dari pemulihan investasi tersebut, hanya NOC Timur Tengah yang melakukan investasi dengan nilai melebihi tingkat sebelum pandemi. Selain itu, investasi untuk lapangan baru telah kembali dalam tren yang meningkat, meskipun pengeluaran investasi masih didominasi lapangan existing dan shale. Diperkirakan bahwa oil majors menghasilkan laba yang lebih besar daripada tahun 2021, walaupun sebagian besar akan digunakan untuk membayar utang dan memberikan pengembalian ke pemegang saham, sisanya dapat digunakan untuk merealisasikan rencana investasi 2022. Namun, tantangan pada 2022 terdapat pada permasalahan inflasi biaya sebesar lebih dari 25% sejak 2020, terutama karena peningkatan biaya material input.
Sementara itu, Deloitte (2022) melaporkan bahwa sektor hulu migas dalam beberapa tahun terakhir mengalami kekurangan investasi yang disebabkan oleh rangkaian disrupsi. Beberapa rangkaian disrupsi yang terjadi adalah kelebihan pasokan shale pada periode 2014-2016 diikuti kelebihan pasokan OPEC pada periode 2015-2016 yang menyebabkan penurunan harga minyak tajam dan berimplikasi pada pemangkasan biaya termasuk biaya investasi di berbagai perusahaan migas. Kurangnya investasi pada periode tersebut menyebabkan ketatnya pasokan yang mendorong peningkatan harga minyak pada periode 2018-2019. Selanjutnya, pada periode 2020-2021 terjadi pandemi COVID-19 yang kembali menjatuhkan harga minyak. Namun kemudian diikuti dengan kebijakan pengetatan pasokan dari OPEC dan supercycle komoditas, sehingga harga minyak mengalami uptrend hingga 2022.
Kurangnya investasi di hulu migas dilaporkan juga oleh IEA yang dikutip oleh ING (2022), bahwa investasi tahunan hulu migas mengalami puncak pada tahun 2014 yaitu sejumlah USD 780 Miliar. Situasi kurangnya investasi hulu migas menimbulkan kekhawatiran terjadinya supply shock di masa mendatang seperti yang dipaparkan juga oleh IEF & IHS Markits (2021) bahwa dalam beberapa dekade lalu, kurangnya investasi memberikan sinyal resiko tinggi kurangnya pasokan dalam beberapa tahun kemudian. Namun, COVID-19 memberikan dampak lebih lanjut pada rendahnya investasi hulu. Sebagai contoh, pasca COVID-19, dengan harga minyak yang tinggi hingga 2022 dan tingkat arus kas yang besar, produsen shale di AS berfokus pada disiplin modal karena tekanan dari pemegang saham yang mengharapkan tingkat pengembalian terutama karena kekhawatiran terhadap masa depan industri tersebut (S&P Global Platts, 2021; ING, 2022; Argus, 2022). Hal tersebut berbeda dengan periode harga tinggi sebelumnya yang memicu produsen shale untuk meningkatkan investasinya.
Tren Harga Minyak Mentah Jenis Brent (USD/Bbls)
Dalam kurun waktu 2005 hingga 2022 terdapat 3 narasi yang berbeda di sektor migas:
1. Pertumbuhan ekonomi Asia diikuti krisis keuangan global yang melambatkan ekonomi. Pemulihan harga minyak pada awal 2009 terjadi karena OPEC segera memangkas produksi yang kemudian diikuti pemulihan ekonomi pasca krisis, dan terjadinya Arab Spring. Dalam periode ini, pandangan terhadap harga minyak adalah tinggi untuk jangka panjang dengan munculnya narasi peak oil supply.
2. Shale oil menjadi efisien & mulai menjadi swing producer, serta terjadi pelemahan permintaan karena perlambatan perekonomian Cina & Amerika Serikat. Pada periode ini, revolusi shale membentuk sebuah narasi bahwa sektor migas akan berada dalam harga rendah untuk jangka waktu lama. Keberhasilan revolusi shale segera mematahkan pandangan peak oil supply. Muncul berbagai narasi bahwa sektor migas ke depan harus beroperasi dalam harga rendah (lower for longer). Berdasarkan laporan dari Rystad, sejak 2014 terjadi penurunan temuan cadangan migas secara global.
3. Perang harga Arab Saudi dan Russia diikuti pandemi Covid-19. Banyaknya pasokan minyak mentah dan berkurangnya permintaan secara drastis menurunkan harga minyak mentah. Dalam periode ini, terjadi peningkatan komitmen global atas transisi energi. Pandangan-pandangan mengenai peak oil demand mulai menguat. Terdapat berbagai perkiraan bahwa peak oil demand akan menjadi lebih cepat karena didorong pandemi Covid-19 dan komitmen transisi energi, walaupun pandangan tersebut masih belum terbukti dengan tren peningkatan permintaan dan krisis energi saat ini.
Salah satu penyebab dari rendahnya investasi di hulu migas adalah narasi atas permintaan. Kekhawatiran terhadap masa depan sektor hulu migas terutama minyak, terjadi karena munculnya narasi mengenai peak oil demand (IEF & IHS Markits, 2021; ING, 2022). Peak oil demand akhir-akhir ini muncul dalam berbagai outlook dari berbagai institusi terkait transisi energi dan pencapaian persetujuan Paris. Sebagai contoh, World Energy Outlook dari IEA (2022b) yang memproyeksikan peak oil demand pada 2024 untuk skenario APS (Announced Pledges Scenario) dan 2035 untuk skenario STEPS (Stated Policies Scenario). Permasalahannya, pandangan atas peak oil demand tidak hanya berbeda antar institusi namun juga terjadi koreksi dalam periode rilis outlook yang berbeda. Seperti misalnya, pandangan bahwa peak oil demand sudah terlewati pada 2020 dalam BP 2020 Energy Outlook, kemudian dikoreksi dalam Energy Outlook BP tahun berikutnya bahwa peak oil demand belum akan terjadi setidaknya setelah 2025. World Oil Outlook dari OPEC (2022) memandang bahwa peak oil demand akan tertunda menjadi sekitar 2035 dan bertahan hingga satu dekade. Pandangan ini disebabkan tren atas respon berbagai negara dalam menangani krisis energi yang terjadi pada 2022. Pandangan OPEC ini cukup berbeda dari pandangan berbagai institusi lain yang cenderung melihat peak oil demand sebelum 2035 dan turun setelah terjadi peak. Contoh-contoh yang telah disebutkan menunjukkan bahwa pandangan peak oil demand penuh dengan ketidakpastian dan mengikuti dinamika stuasi global. Namun, narasi peak oil demand mempengaruhi pandangan dan risk appetite investor, termasuk juga lenders. Selain narasi permintaan minyak, rendahnya investasi hulu migas juga dipengaruhi juga oleh peningkatan komitmen ESG (IEF & IHS Markits; OPEC, 2022). Saat ini komitmen ESG semakin meningkat meskipun belum didukung standard kriteria ESG secara global.
Kurangnya investasi migas yang dilaporkan oleh berbagai institusi menunjukkan bahwa ke depan sektor hulu migas akan menghadapi risiko supply shock karena tidak sesuainya kecepatan dan tekanan transisi energi dari sisi pasokan dibandingkan permintaan. Bahkan, tanpa adanya transisi atau penurunan permintaan, saat ini dunia sudah menghadapi penurunan produksi minyak secara normal. IEF & IHS Markits (2021) memperkirakan penurunan produksi minyak secara normal negara-negara non-OPEC sebesar 9 juta bph pada 2025 dan 20 juta bph pada 2030, jika tidak terdapat tambahan pengeboran baru. Proyeksi penurunan produksi dari negara-negara non-OPEC diutarakan juga oleh Wood Mackenzie (2022), yang mana diperkirakan pasokan minyak dari negara-negara non-OPEC akan mengalami perlambatan mulai 2025 dan menurun mulai awal 2030an. Kondisi ini menyebabkan dunia akan bergantung pada OPEC ke depan, terutama Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Irak. Penurunan produksi di negara-negara non-OPEC disumbang terutama oleh tren peningkatan produksi minyak siklus pendek (short cycle) dalam dua dekade lalu. Ke depan, dengan adanya kekhawatiran atas transisi energi, diperkirakan akan lebih banyak investasi migas yang mencari produksi yang lebih cepat untuk meningkatkan periode pengembalian investasi.
Tren Temuan Cadangan Global (sumber: Rystad Energy Ucube – diolah)
Untuk menghadapi supply shock, OPEC (2022) memperkirakan bahwa dunia membutuhkan investasi hulu migas sekitar USD 9.5 triliun (nilai real USD 2022) dari periode 2022 hingga 2045 untuk menahan laju penurunan produksi dan memenuhi permintaan. Sementara IEF & IHS Markits (2021) memandang bahwa diperlukan investasi hulu migas sebesar 4,7 triliun dari periode 2022 hingga 2030 untuk memenuhi permintaan dan menghindari kurangnya pasokan. Selain itu, untuk memastikan ketersediaan pasokan dalam 5-6 tahun ke depan, tahun 2022 dan 2023 merupakan tahun kritis untuk memutuskan dan memulai proyek investasi hulu. Pandangan kebutuhan investasi ini sudah dalam proyeksi bahwa transisi energi tetap terjadi ke depan. Saat ini terbukti bahwa meskipun terjadi peningkatan investasi energi hijau secara global, namun kebutuhan energi fosil masih kuat, dan hampir semua outlook menunjukkan bahwa permintaan minyak masih cukup kuat ke depan. Namun, peningkatan ESG dan komitmen transisi energi akan meningkatkan tingkat kesulitan penentuan investasi di sektor hulu migas. Kebutuhan pasokan migas akan mendapatkan tantangan dalam hal kebutuhan rendah karbon dan pemenuhan aspek ESG lainnya.
Tren Cadangan Terbukti (sumber: BP, 2022 - diolah)
Berdasarkan IHS Markit (2022), sejauh ini komitmen transisi energi lebih tinggi pada IOC dibandingkan NOC. Meskipun NOC juga mulai melakukan diversifikasi bisnis dan dekarbonisasi, namun masih dalam tingkat yang lebih rendah dibandingkan IOC. Salah satu penyebabnya karena NOC masih harus menyeimbangkan ketahanan energi untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan dekarbonisasi. Di sisi lain, peningkatan komitmen transisi energi dan dekarbonisasi pada IOC terjadi karena peningkatan tekanan dari para pemangku kepentingan (Asmelash & Gorini, 2021), seperti yang terjadi pada Shell, BP, dan ExxonMobil. Namun ke depan, dengan peningkatan komitmen dan urgensi atas transisi energi dan dekarbonisasi, diperkirakan akan lebih banyak NOC yang bertransformasi menjadi perusahaan energi terintegrasi seperti yang telah dilakukan oleh banyak IOC. Dalam kaitannya dengan pencapaian transisi energi dan target NZE, hal ini merupakan suatu hal yang baik. Namun, penguatan transformasi tersebut perlu diimbangi dengan transisi di sisi permintaan. Perusahaan-perusahaan yang bertransformasi menjadi perusahaan energi terintegrasi sangat perlu untuk mendukung percepatan terbentuknya ekosistem energi bersih di sisi permintaan, sehingga resiko supply shock karena percepatan transisi dari sisi pasokan dapat diminimalisasi. Namun, transisi energi bukan hanya mengenai aspek transisi di sisi pasokan. Periode 2021-2022 menunjukkan bahwa transisi energi masih dalam tahap awal dan menghadapi berbagai disrupsi, baik dari sisi makroekonomi, geopolitik, maupun dari sisi cuaca ekstrem. Peningkatan cuaca ekstrem akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan pasokan, krisis energi pada tahun 2022 telah membuat berbagai negara meningkatkan ketahanan energi dari segi ketersediaan (availability) secara nasional, sementara ancaman resesi meningkatkan kesadaran atas ketahanan energi dari sisi keterjangkauan (affordability). Berbagai negara mulai menyusun kebijakan untuk memperkuat pencarian sumber energi hijau dan material pendukungnya secara regional, seperti misalnya yang dilakukan AS terkait pengembangan baterai berbasis sodium yang ketersediaannya tidak terkonsentrasi di satu negara seperti nikel.
Situasi kurangnya investasi migas secara global dan tren transisi energi perlu disikapi dengan hati-hati oleh Indonesia, terutama mengingat bahwa Indonesia merupakan negara net-importir minyak. Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dalam Grand Strategy Energy Nasional (GSEN) 2021-2040, kebutuhan minyak mentah secara nasional masih akan meningkat hingga 2030 kemudian tetap hingga 2040 yaitu sekitar 1.5 juta bph. Sementara itu, kebutuhan BBM nasional masih akan terus meningkat menjadi sekitar 1.5 juta bph pada 2030 dan 2 juta bph pada 2040. Dalam kondisi ini, pemerintah sudah menargetkan nol impor gasoline pada 2030 salah satunya dengan menargetkan pemanfaatan alternatif BBM seperti kendaraan listrik, kendaraan berbahan bakar gas, dan pengoptimalan biofuel. Namun demikian, dari sisi minyak mentah, diperkirakan Indonesia masih memerlukan impor, yaitu sekitar 324 ribu bph pada 2030 dan 604 bph pada 2040, dengan catatan bahwa target produksi minyak mentah nasional sebesar 1 juta bph dapat tercapai pada 2030 dan pada 2040 produksi minyak mentah nasional mencapai kisaran 717 ribu bph.
Permasalahannya, produksi minyak mentah secara nasional saat ini masih mengalami tren penurunan yaitu pada tahun 2021 sekitar 692 ribu bph, dan umur cadangan minyak mentah nasional masih berada di kisaran 9 tahun (BP, 2022). Umur cadangan tersebut bermakna bahwa jika tidak ditemukan tambahan cadangan baru dan minyak mentah diproduksikan secara tetap, maka cadangan minyak mentah nasional akan habis dalam waktu 9 tahun.
Tren Produksi dan R/P Minyak Tahunan Nasional (BP, 2022 – diolah)
Proyeksi umur cadangan selama 9 tahun dan tren penurunan produksi seperti yang terlihat dalam grafik di atas meningkatkan risiko ketahanan energi nasional, terutama dalam situasi global seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sehingga, untuk mendukung kebutuhan minyak mentah dalam negeri, diperlukan tambahan produksi dan cadangan nasional.
Dalam rangka mencapai hal tersebut, hingga saat ini pemerintah Indonesia terus melakukan usaha-usaha untuk penambahan cadangan dan produksi nasional, terutama untuk mencapai target produksi nasional 1 juta bph yang sudah dicanangkan. Dari sisi investasi, berdasarkan laporan kinerja 2021 Dirjen Migas, capaian investasi hulu migas pada tahun 2021 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, dengan nilai investasi hulu masih didominasi oleh investasi untuk produksi. Nilai investasi pengembangan mengalami tren penurunan dalam 3 tahun terakhir, dan nilai investasi eksplorasi mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2020. Namun, masih diperlukan usaha-usaha dan investasi tambahan di sektor hulu migas untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak nasional.
Capaian Investasi Hulu Migas Nasional (Dirjen Migas, 2022 – diolah)
Untuk proyeksi mengenai kebutuhan minyak nasional, selain proyeksi dalam GSEN, terdapat juga proyeksi lain seperti yang dilakukan oleh IEA dalam skenario APS. Dalam skenario tersebut, permintaan energi primer minyak nasional baru akan mencapai puncak pada sekitar tahun 2030an (IEA, 2022c). Proyeksi kebutuhan minyak mentah yang dilakukan dalam GSEN dan IEA sudah memfaktorkan transisi energi. Oleh karena itu, jika transisi energi di sektor transportasi terutama dari sisi konsumen dapat dipercepat dan efisiensi energi di sektor transportasi dapat ditingkatkan, maka kebutuhan minyak mentah dapat lebih rendah dari yang diperkirakan atau puncak kebutuhan minyak mentah dapat lebih cepat dari yang diperkirakan. Untuk mendorong percepatan transisi dan diversifikasi energi di sektor transportasi tersebut, diperlukan dukungan kebijakan, pendanaan, teknologi, dan rantai pasok dari berbagai pihak. Selain itu, diperlukan juga perencanaan yang terintegrasi untuk memastikan bahwa transisi dan diversifikasi energi berjalan secara teratur dan ketahanan energi selama transisi dapat terjaga.
Argus. (2022). Shale discipline gears up for biggest test yet. In https://www.argusmedia.com/en/news/2292744-shale-discipline-gears-up-for-biggest-test-yet. Argus Media.
Asmelash, E. and R. Gorini (2021) International oil companies and the energy transition, International Renewable Energy Agency, Abu Dhabi
British Petroleum. (2022). BP Statistical Review of World Energy 2022, 71st Edition.
Deloitte. (2022). Striking the balance: How and where will oil and gas producers deploy their cash? Deloitte Insights. https://www2.deloitte.com/us/en/insights/industry/oil-and-gas/rising-oil-prices-and-oil-company-cash-reserves.html.
Dirjen Migas. (2022). Laporan Kinerja 2021. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas. https://migas.esdm.go.id/uploads/20220216_LAKIN-Ditjen-Migas-2021_R4.pdf
IEA (2022a), World Energy Investment 2022, IEA, Paris https://www.iea.org/reports/world-energy-investment-2022, License: CC BY 4.0
IEA (2022b), World Energy Outlook 2022, IEA, Paris https://www.iea.org/reports/world-energy-outlook-2022, License: CC BY 4.0 (report); CC BY NC SA 4.0 (Annex A)
IEA (2022c), An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia, IEA, Paris https://www.iea.org/reports/an-energy-sector-roadmap-to-net-zero-emissions-in-indonesia, License: CC BY 4.0
IEF & IHS Markit. (2021, December). Oil and Gas Investment Outlook. International Energy Forum. https://www.ief.org/investment-report-2021/download
IHS Markits. (2022). In the race to diversify and decarbonize, most NOCs remain on the starting blocks. S&P Global Commodity Insights. https://ihsmarkit.com/research-analysis/in-the-race-to-diversify-and-decarbonize-most-nocs-remain-on-t.html.
ING. (2022). Energy Outlook: Oil and gas markets to tighten on lack of upstream spending. In https://think.ing.com/articles/oil-and-gas-markets-to-tighten-on-lack-of-upstream-spending.
OPEC. (2022). 2022 World Oil Outlook 2045. OPEC Secretariat. https://www.opec.org/opec_web/en/publications/340.htm.
S&P Global Platts. (2021). Spotlight: Will US shale oil operators forget capital discipline and produce a lot more oil next year as oil prices reach a seven-year high? https://www.spglobal.com/commodityinsights/en/market-insights/latest-news/oil/102921-spotlight-will-us-shale-oil-operators-forget-capital-discipline-and-produce-a-lot-more-oil-next-year-as-oil-prices-reach-.
Wood Mackenzie. (2022, March). Macro oils strategic outlook. https://my.woodmac.com/document/150017637