Transisi energi akan menimbulkan kebutuhan energi, baik itu energi fosil selama transisi berjalan maupun energi bersih. Permasalahannya, kebutuhan energi ini akan menimbulkan risiko pasokan jika transisi energi berjalan tidak sesuai dengan rencana. Transisi energi yang lebih cepat akan menimbulkan kebutuhan mineral kritis dan teknologi hijau yang lebih banyak, Sementara transisi yang lebih lambat akan meningkatkan kebutuhan energi fosil yang lebih besar. Oleh karena itu, McKinsey (2022) menyatakan bahwa untuk memastikan agar transisi energi berjalan secara teratur, maka diperlukan 9 persyaratan kunci yang masuk dalam 3 kategori utama yaitu infrastruktur fisik, penyesuaian sosial ekonomi, serta tata kelola, institusi, dan komitmen. Rantai pasok termasuk dalam kategori infrastruktur fisik, dan keberhasilan menjalankan transisi energi secara teratur bergantung pada keberhasilan dalam menciptakan rantai pasok dan infrastruktur pendukungnya.
Dalam laporan McKinsey (2022) disebutkan bahwa diperlukan langkah-langkah untuk menghindari kemacetan rantai pasok, terutama dalam situasi geopolitik tahun 2022. Kemacetan rantai pasok meningkatkan resiko terkait kekurangan secara volume, volatilitas harga, ketergantungan pasokan secara geografis, lamanya lead-time, dan permasalahan terkait kualitas. Tantangan utama dalam rantai pasok adalah terkait pengadaan bahan baku, manufaktur komponen, serta ketersediaan tenaga kerja untuk konstruksi dan instalasi. Permasalahan terkait rantai pasok juga telah dibahas oleh IEA (2022) dan World Economic Forum (2022), bahwa permasalahan transisi energi saat ini adalah rantai pasok teknologi hijau yang terkonsentrasi di beberapa wilayah tertentu secara global.
Potensi Risiko Rantai Pasok (McKinsey & Co, 2022 - diolah)
Secara umum, mineral kritis dapat didefinisikan sebagai zat alami yang memberikan sifat esensial untuk suatu teknologi atau produk, tidak mudah tersubstitusi, pada umumnya tidak didaur ulang atau didaur ulang pada tingkat rendah, dan bergantung pada risiko rantai pasokan sebagai akibat dari berbagai faktor (McNulty & Jowitt, 2021). Lebih lanjut, McNulty & Jowitt (2021) dalam kajiannya mengenai pasokan mineral kritis secara global menjelaskan bahwa risiko pasokan mineral kritis dapat berupa variasi geologis, geografis, politik, dan metalurgi. Sehingga, bisa jadi jumlah mineral kritis di seluruh dunia mencukupi, namun situasi geopolitik di masa mendatang menghambat arus perpindahan mineral kritis dari satu wilayah ke wilayah lain.
Berdasarkan peta sebaran pasokan teknologi bersih dari IEA (2022) maupun World Bank (2020), rantai nilai teknologi energi bersih tersebar secara tidak merata di berbagai belahan dunia. Bahkan pemrosesan mineral kritis dunia saat ini berpusat di Tiongkok. Hal ini memunculkan beberapa risiko yang salah satunya adalah kurangnya pasokan teknologi energi bersih untuk mendukung pencapaian target Net-Zero di beberapa negara. Berdasarkan situasi tersebut, European Comission dalam analisisnya menunjukkan bahwa untuk mencapai target transisi energi pada tahun 2030, pasokan mineral kritis seperti dysprosium, neodymium, praseodymium, dan lithium di Uni Eropa tidak mencukupi. Terkait hal tersebut, European Commission telah menyiapkan beberapa strategi untuk menjaga keamanan pasokan mineral kritis tersebut.
Tidak hanya Uni Eropa yang kemudian membuat strategi untuk mengamankan kebutuhan teknologi hijaunya, Amerika Serikat juga telah memiliki rangkaian kebijakan seperti Critical Mineral Policy Act dan Defense Policy Act untuk memastikan keamanan dan keandalan pasokan teknologi hijau dalam mendukung percepatan transisi energi di Amerika Serikat. Dengan adanya isu pasokan mineral kritis, International Energy Agency dalam laporannya mengubah paradigma ketahanan energi yang dikaitkan dengan transisi energi bersih. Ke depan, perlombaan dalam mencapai target Net-Zero akan berfokus pada keamanan pasokan teknologi energi bersih, dan disrupsi pasokan teknologi energi bersih ini akan menunda serta meningkatkan biaya transisi energi (IEA, 2022).
Selain permasalahan konsentrasi geografis dari rantai pasok, terdapat juga permasalahan disrupsi rantai pasok yang disebabkan oleh cuaca ekstrem karena perubahan iklim sudah terjadi. Pada periode 2021-2022 tercatat beberapa kejadian cuaca ekstrem yang mendisrupsi pasokan energi seperti dalam tabel berikut:
Data Disrupsi Cuaca Terhadap Rantai Pasok Energi
Permasalahan rantai pasok selama transisi energi tidak hanya terjadi pada energi hijau namun juga energi fosil. Sepanjang sejarah, minyak bumi merupakan sumber energi fosil yang erat kaitannya dengan permasalahan geopolitik. Permasalahan rantai pasok minyak bumi terutama dalam hal keterjangkauan dan ketersediaan. Konflik Rusia-Ukraina, tekanan transisi energi, dan permasalahan inflasi akan menimbulkan risiko pasokan untuk minyak bumi. Seperti yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya, kurangnya investasi hulu migas akan meningkatkan risiko pasokan migas.
Secara nasional, berdasarkan Pertamina Energy Outlook 2022 yang telah dibahas dalam bab 3, transisi energi yang membutuhkan lebih banyak energi terbarukan berada di skenario Market Driven dan Green Transition terutama setelah tahun 2030. Dalam kedua skenario tersebut, minyak bumi dan gas masih diperlukan selama transisi energi, dan Indonesia masih akan memerlukan pasokan minyak mentah dengan puncak permintaan paling cepat pada tahun 2025 di skenario Green Transition. Sementara itu, jika Indonesia mengalami transisi energi yang lebih lambat seperti yang diskenariokan dalam Low Transition, maka energi fosil yang dibutuhkan terutama batubara akan terus bertumbuh hingga 2060. Sehingga, berbagai pihak perlu secara bersama-sama memperhatikan kebijakan, perubahan teknologi, perilaku, dan faktor-faktor kunci lainnya dalam transisi energi, untuk memastikan arah kebutuhan bauran energi dalam transisi energi. Sebagai contoh, jika kebijakan yang mendorong transisi energi masih belum cukup kuat, maka perlu dipersiapkan bahwa Indonesia masih akan mengarah ke skenario LT. Dalam hal ini, kebutuhan bahan bakar fosil termasuk rantai pasoknya perlu dipersiapkan.
Sementara itu, jika terjadi arah penguatan transisi energi atau diharapkan akan terjadi penguatan transisi energi, maka beberapa faktor terkait rantai pasok energi baru terbarukan perlu diperhatikan. Sebagai contoh, semakin kuat transisi energi maka energi listrik yang diperlukan akan lebih tinggi. Seperti dalam skenario LT, konversi energi primer ke listrik sebesar 16 juta TJ pada 2060. Sementara itu, konversi energi primer ke listrik pada skenario MD adalah sebesar 20 juta TJ pada 2060, dan untuk skenario GT sebesar 26 juta TJ pada 2060. Untuk memastikan elektrifikasi terjadi dalam skala besar, maka diperlukan dukungan kebijakan dan ekonomi, serta penguatan rantai pasok seperti infrastruktur pengisian ulang listrik dan hidrogen, pasokan baterai dan hidrogen, serta pasokan kendaraan.
Dalam hal pasokan kendaraan, kendaraan listrik secara umum memerlukan material yang lebih banyak daripada kendaraan berbahan bakar fosil. Kebutuhan material tersebut perlu didukung kekuatan rantai pasok untuk memastikan tersedianya bahan baku dan material kendaraan listrik dalam transisi energi.
Kebutuhan Material Transportasi Darat
Material baterai yang merupakan bagian terbesar dalam peningkatan material, terutama karena kebutuhan litium, nikel, dan kobalt.
Aluminium, diperkirakan akan meningkat secara signifikan karena sifatnya yang ringan, sehingga dapat mendukung jarak tempuh yang lebih jauh untuk kendaraan listrik.
Platinum, diperlukan terutama untuk kendaraan berbasis hidrogen, karena dapat digunakan sebagai katalis untuk menghasilkan arus listrik (memecah hidrogen menjadi proton dan electron).
Logam tanah jarang (terutama neodymium) yang digunakan sebagai magnet permanen motor listrik.
Tembaga, yang digunakan dalam sebagian besar komponen utama kendaraan listrik, mulai dari motor hingga inverter, serta kabel.
Selanjutnya, untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik, nikel akan menjadi logam dengan tingkat kebutuhan tinggi, diikuti litium, dan kobalt. Nikel terutama kelas 1 akan semakin dibutuhkan. Namun, secara umum akan muncul risiko kekurangan nikel di masa depan karena lead-time penambangan nikel yang panjang (5-7 tahun), memerlukan investasi yang besar, dan kurangnya kemauan berinvestasi dari penambang kecuali terjadi peningkatan harga secara signifikan. Di sisi lain, Indonesia merupakan penghasil nikel dan pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Walaupun saat ini pengolahan nikel terbesar dunia berada di Cina. Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan hilirisasi nikel untuk mengambil manfaat terbesar dari cadangan nikel terbesar dunia dan peluang pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai dalam transisi energi.
Selain kendaraan listrik dan baterai, diperlukan juga ketahanan rantai pasok hidrogen dan sumber nabati dalam transisi energi di sektor transportasi. Untuk hidrogen, Indonesia perlu mempersiapkan pasokan kendaraan berbasis fuel cell dan ekosistem pengisian bahan bakar hidrogen untuk rantai pasok di sisi konsumen. Sementara dari sisi pasokan, setelah 2030 diproyeksikan bahwa sumber hidrogen hijau akan masuk ke dalam pasokan dengan biaya yang lebih rendah. Selanjutnya untuk bahan bakar nabati, diperlukan ketahanan pasokan sumber nabati. Beberapa sumber nabati yang digunakan sebagai campuran bahan bakar adalah sumber nabati dari gula (molase), sawit, dan limbah nabati seperti jelantah. Dalam pengembangan bahan bakar nabati, diperlukan pertimbangan ketersediaan sumber bahan baku yang dapat menjadi sumber pangan.
Bauran Kapasitas Pembangkit
Di sektor pembangkit, dalam skenario LT batubara masih akan mendominasi bauran pembangkit. Namun, di skenario MD dan GT, bauran EBT sudah masuk ke dalam sistem dengan porsi kapasitas terbesar tenaga surya. Hal ini dikarenakan tenaga surya bersifat intermiten dengan capacity factor sekitar 23%. Sehingga, diperlukan kapasitas besar untuk memasok listrik dari tenaga surya. Di sisi skenario LT, pasokan listrik terkonsentrasi pada batubara, sehingga akan muncul risiko pasokan batubara selain faktor emisinya yang tinggi. Jika terjadi disrupsi dalam hal pasokan batubara, maka skenario LT paling berisiko. Sementara itu skenario MD dan GT memiliki bauran pasokan listrik yang lebih banyak dibandingkan skenario LT, dengan bauran terbanyak skenario GT karena dalam skenario ini pembangkit dengan CCS masuk ke dalam sistem, seperti misalnya Gas dengan CCS. Banyaknya bauran pembangkit menurunkan risiko pasokan. Namun, pembangkit EBT yang intermiten memerlukan mitigasi pasokan karena selain rentan terdisrupsi cuaca juga rentan terhadap faktor geopolitik. Dalam skenario MD dan GT, pembangkit tenaga surya, angin, dan air berisiko terhadap disrupsi cuaca. Khusus untuk pembangkit tenaga air, perlu dilakukan pemetaan risiko pasokan air ke depan karena cuaca ekstrem dan disiapkan adaptasi sumber air untuk mejaga keandalan pasokan pembangkit di masa mendatang. Sementara itu untuk turbin angin dan panel surya, saat ini Indonesia belum menguasai rantai pasok teknologi pembangkit tersebut. Terlebih lagi, panel surya yang saat ini sebagian besar rantai pasoknya dikuasai oleh Cina. Padahal, pembangkit panel surya paling diminati sebagai quick win, karena LCOEnya yang rendah dan paling mudah dipasang untuk mencapai target kapasitas pembangkitan. Sehingga, untuk saat ini peningkatan pembangkit panel surya hanya akan menguntungkan negara lain. Oleh karena itu, Indonesia perlu untuk segera melakukan hilirisasi, penguasaan teknologi, dan industrialisasi rantai pasok pembangkit tenaga surya. Sehingga, untuk mencapai kapasitas pembangkit seperti yang diskenariokan, ke depan Indonesia dapat memenuhinya dari dalam negeri dan melakukan optimalisasi ekonomi dari rantai pasok tersebut.
IEA. (2022, July). Securing Clean Energy Technology Supply Chains. https://iea.blob.core.windows.net/assets/0fe16228-521a-43d9-8da6-bbf08cc9f2b4/SecuringCleanEnergyTechnologySupplyChains.pdf
McKinsey & Company. (2022). Building resilient supply chains for the European energy transition. https://www.mckinsey.com/industries/electric-power-and-natural-gas/our-insights/building-resilient-supply-chains-for-the-european-energy-transition
McNulty, B. A., & Jowitt, S. M. (2021). Barriers to and uncertainties in understanding and quantifying global critical mineral and element supply. IScience, 24(7), 102809.
World Economic Forum. (2022). Rethinking global supply chains for the energy transition. https://www.weforum.org/agenda/2022/01/rethinking-supply-chains-for-the-energy-transition/
World Bank. (2020). Minerals for Climate Action: The Mineral Intensity of the Clean Energy Transition. https://pubdocs.worldbank.org/en/961711588875536384/Minerals-for-Climate-Action-The-Mineral-Intensity-of-the-Clean-Energy-Transition.pdf