Berdasarkan Global Energy and Climate Outlook 2021 dari European Commission, menunjukan bahwa terdapat beberapa pathway terkait respons implikasi suhu dan emisi. Kebijakan saat ini berpotensi menstabilkan emisi hanya sekitar tahun 2040 dengan peningkatan suhu yang terus meningkat. Dengan demikian, masih diperlukan kebijakan tambahan untuk mencapai target jalur Nationally Determined Contributions and the Long-Term Climate Strategies (NDC-LTS) yang diumumkan UNFCCC. Pada skenario ini, emisi mencapai puncaknya pada awal 2023 dan kemudian stabil pada pertengahan abad.
Data lain dari IPCC menunjukan bahwa aktivitas manusia diperkirakan telah menyebabkan sekitar 1,0°C pemanasan global di atas tingkat pra-industri, dengan kemungkinan kisaran 0,8°C hingga 1,2°C. Pemanasan global kemungkinan akan mencapai 1,5°C antara tahun 2030 dan 2052 jika terus meningkat pada tingkat saat ini.
Tren pemanasan jangka panjang sejak periode pra-industri menunjukan global mean surface temperature (GMST) periode tahun 2006–2015 adalah 0,87°C (kemungkinan antara 0,75 °C dan 0,99 °C) yang lebih tinggi dari rata-rata selama periode 1850-1900. Perkiraan pemanasan global saat ini meningkat pada 0,2°C per dekade karena emisi masa lalu dan yang sedang berlangsung Pemanasan yang lebih besar dari rata-rata tahunan global sedang dialami di banyak wilayah daratan dan musim, termasuk dua hingga tiga kali lebih tinggi di Kutub Utara. Pemanasan umumnya lebih tinggi di atas daratan daripada di atas lautan.
Risiko terkait iklim lebih tinggi untuk pemanasan global 1,5°C daripada saat ini, tetapi lebih rendah dari 2°C. Risiko-risiko ini bergantung pada besarnya dan tingkat pemanasan, lokasi geografis, tingkat perkembangan dan kerentanan, dan pada pilihan dan implementasi opsi adaptasi dan mitigasi. Risiko terkait iklim di masa depan bergantung pada laju, puncak, dan durasi pemanasan. Secara agregat, hal ini berpotensi lebih besar jika pemanasan global melebihi 1,5°C sebelum kembali ke tingkat itu pada tahun 2100 daripada jika pemanasan global secara bertahap stabil pada 1,5°C, terutama jika suhu puncaknya tinggi.
Risiko hujan lebat diproyeksikan lebih tinggi pada 2°C dibandingkan dengan 1,5°C dari pemanasan global di beberapa wilayah lintang tinggi dan/atau dataran tinggi belahan bumi utara, Asia timur dan Amerika Utara bagian timur. Curah hujan lebat karena tropical cyclones diproyeksikan lebih tinggi pada 2°C dibandingkan dengan pemanasan global 1,5°C. Curah hujan lebat bila digabungkan pada skala global diproyeksikan lebih tinggi pada 2°C daripada 1,5°C dari pemanasan global. Sebagai konsekuensi dari curah hujan yang tinggi, daratan global yang terkena bahaya banjir diproyeksikan lebih besar pada 2°C dibandingkan dengan 1,5°C dari pemanasan global.
Pada tahun 2100, kenaikan permukaan laut rata-rata global diproyeksikan menjadi sekitar 0,1 meter lebih rendah dengan pemanasan global 1,5°C dibandingkan dengan 2°C. Permukaan laut akan terus meningkat jauh melampaui tahun 2100 dengan tingkat kenaikan bergantung pada jalur emisi di masa depan. Tingkat kenaikan permukaan laut yang lebih lambat memungkinkan peluang yang lebih besar untuk adaptasi dalam sistem manusia dan ekologi pulau-pulau kecil, daerah pesisir dataran rendah dan delta. Kenaikan permukaan laut akan terus berlanjut setelah tahun 2100 bahkan jika pemanasan global dibatasi hingga 1,5°C pada abad ke-21. Ketidakstabilan lapisan es laut di Antartika dan/atau hilangnya lapisan es Greenland secara permanen dapat mengakibatkan kenaikan permukaan laut beberapa meter selama ratusan hingga ribuan tahun. Ketidakstabilan ini dapat dipicu pada pemanasan global sekitar 1,5°C hingga 2°C.
Pada tahun 2021, Emergency Event Database (EM-DAT) mencatat 432 kejadian bencana terkait dengan bahaya alam di seluruh dunia, 172 tercatat terjadi di Asia dan kejadian di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia dengan jumlah 28 kejadian.
Secara global tahun 2021 ditandai dengan meningkatnya jumlah kejadian bencana dan luasnya kerugian ekonomi. Rangkaian bencana tersebut telah merenggut 10.492 jiwa, berdampak kepada 101,8 juta orang dan menyebabkan sekitar USD252,1 miliar kerugian ekonomi. Benua Asia merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak bencana alam, hampir 40% dari semua kejadian bencana alam terjadi di Asia dan menyumbang 49% dari total jumlah kematian serta 66% dari total jumlah orang yang terkena dampak.
Bencana alam yang terjadi di tahun 2021 telah mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar dan banyak diakibatkan oleh badai, disusul dengan banjir dan kekeringan dengan besar kerugian masing-masing USD 137 milyar, USD 74.4 milyar dan USD 12.1 milyar. Bencana alam lainnya yang mengakibatkan kerugian ekonomi adalah gempa bumi, kebakaran hutan, suhu ektrim, aktifitas vukanik dan tanah longsor. Bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim kini semakin meningkat intensitasnya seperti banjir, badai, kekeringan serta gelombang panas.
Berdasarkan data kejadian bencana yang membahayakan di Indonesia sejak 2018 hingga 2020 berdasarkan laporan BMKG, banjir serta longsor menjadi semakin sering terjadi. Di sisi lain angin kencang dan badai serta kebakaran hutan yang didukung oleh kekeringan juga semakin meningkat.
Sedangkan secara umum, potensi kejadian ekstrem yang membayangi secara global antara lain peningkatan suhu, kenaikan curah hujan, dan kenaikan permukaan air laut.
Sejumlah penelitian telah menyimpulkan bahwa suhu udara rata-rata permukaan bumi telah meningkat 1 °C sejak 1900, dan diproyeksikan akan terus meningkat secara signifikan terutama dalam beberapa dekade mendatang. Apabila tidak ada perubahan dalam bidang teknologi maupun kebijakan untuk mengurangi emisi dari kondisi saat ini, maka diperikirakan suhu permukaan bumi akan meningkat 2.6 – 4.8 0 C pada abad 21.
Ketika terjadi peningkatan suhu bumi, maka bisa dilihat cuaca ekstrem semakin sering terjadi dan semakin meningkat pula intensitas dampak yang ditimbulkannya. Para peneliti mengkategorikan cuaca sebagai cuaca “ekstrem” apabila memiliki profil yang berbeda dari sebagian besar (90-95%) profil cuaca yang sudah terjadi pada wilayah yang sama. Pada lapisan bawah atmosfir bumi kini terjadi peningkatan suhu dan kelembaban akibat dari gas rumah kaca. Hal ini dapat meningkatkan potensi terjadinya badai dan cuaca ekstrem lainnya. Gelombang panas dan cuaca panas yang ekstrem akan semakin sering terjadi. Di sisi lain hujan badai dan hujan salju juga akan lebih sering terjadi dan meningkatkan potensi resiko banjir.
Peningkatan suhu bumi juga berdampak pada kenaikan tingkat permukaan air. Sejumlah publikasi menunjukkan bahwa permukaan air laut global telah meningkat sebanyak 16 cm sejak abad 19 dengan peningkatan terbesar terjadi pada dekade ini. Peningkatan permukaan air laut ini terjadi akibat penambahan jumlah volume air laut yang disebabkan oleh banyaknya gunung es yang mencair dan berkurangnya volume lapisan es di Greenland dan Arctic. Hal ini tentu saja akan menambah jumlah volume air laut pada saat badai terjadi, dengan ditambah dengan volume hujan dari curah hujan yang tinggi, semua ini dapat mengakibatkan kerusakan yang semakin parah dan bencana banjir pada daerah pesisir pantai yang terdampak.
Secara umum perubahan iklim erat kaitannya dengan penyediaan energi, khususnya energi terbarukan. Seperti halnya pada operasional pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Jumlah pasokan listrik yang dihasilkan dari PLTA tidak hanya dipengaruhi oleh kapasitas pembangkit tetapi juga oleh jumlah pasokan/arus air yang dialirkan ke PLTA. Perubahan Iklim sudah pasti memiliki banyak pengaruh dalam perencanaan dan pengoperasian PLTA, dan bahkan menambah banyak ketidakpastian terhadap dinamika operasi sistem PLTA yang akan menentukan besaran fluktuasi output energy listrik yang dihasilkan.
Pun halnya dengan energi bayu/angin, ketersediaan dan keandalan tenaga angin bergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Dampak perubahan iklim global terhadap energi angin bergeser mengikuti posisi geografis dan variabilitas kecepatan angin pada suatu wilayah. Sebagaimana perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap arus angin, hal ini juga menyebabkan dampak tidak langsung pada pembentukan gelombang. Penurunan kecepatan angin rata-rata sebesar 20% dapat menurunkan daya gelombang sebesar 67%, sementara peningkatan yang setara meningkatkannya sebesar 133%.
Liquid biofuel juga rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti suhu, curah hujan, serta tingkat CO2, terutama pada tanaman yang digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi etanol dan biodiesel. Ketersediaan air yang terbatas dan rendahnya curah hujan akan mengurangi produktifitas hasil panen tanaman budidaya. Sedangkan pengaruh peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir terhadap sektor pertanian adalah terjadinya peningkatan suhu udara yang dapat menyebabkan berkurangnya kegiatan fotosintesis pada tanaman.
Selanjutnya perubahan iklim dapat mempengaruhi sumber energi matahari sebagai akibat dari perubahan kandungan uap air di atmosfer, kerapatan dan karakteristik awan, yang mempengaruhi kemampuan transmisi sinar matahari di atmosfer. Hal ini dapat memiliki efek pada rangkaian pembangkit listrik dari fotovoltaik dan Concentrated Solar Power (CSP).
Untuk sektor migas, perubahan iklim tidak berdampak pada jumlah cadangan eksisting minyak dan gas bumi, tetapi dapat mempengaruhi secara tidak langsung terhadap kegiatan penelitian dan produksi lapangan migas. Sebagai contoh pasokan minyak dan gas bumi yang berasal dari offshore ataupun daerah rawan di pinggir laut lainnya dapat terganggu oleh adanya cuaca ekstrem seperti misalnya angin topan yang dapat mengakibatkan terhentinya produksi untuk menghindari korban dan kerusakan lingkungan. Selain itu pasokan minyak dan gas juga dapat terganggu apabila infrastruktur dari pipa minyak dan gas terdapat kerusakan yang serius yang bisa disebabkan karena cuaca ekstrem tadi.
Pada sektor pertambangan, cuaca ekstrem berpotensi mengakibatkan perubahan tingkat permukaan air sungai dan banjir di banyak tempat, sehingga berpengaruh terhadap kualitas dan distribusi batubara. Hal tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap proses ekplorasi dan cadangan batubara ke depan.